Wawancara dengan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin
Pada bulan Oktober 1993 edisi 42, Majalah Al-Furqan Kuwait
mewawancarai Syaikh Muhammad bin shalih Al-’Utsaimin, seorang ulama besar di
Saudi Arabia yang menjadi banyak rujukan umat Islam di berbagai negara. Berikut
ini adalah petikan wawancaranya seputar masalah hukum masuk ke dalam parlemen.
Majalah Al-Furqan :. Fadhilatus Syaikh Hafizakumullah, tentang hukm masuk ke dalam
majelis niyabah (DPR) padahal negara tersebut tidak menerapkan syariat Islam
secara menyeluruh, apa komentar Anda dalam masalah ini?
Syaikh Al-’Utsaimin : Kami punya jawaban sebelumnya yaitu harus masuk dan
bermusyarakah di dalam pemerintahan. Dan seseorang harus meniatkan masuknya itu
untuk melakukan ishlah (perbaikan), bukan untuk menyetujui atas semua yang
ditetapkan.
Dalam hal ini bila dia mendapatkan hal yang bertentangan dengan
syariah, harus ditolak. Meskipun penolakannya itu mungkin belum diikuti dan didukung
oleh orang banyak pada pertama kali, kedua kali, bulan pertama, kedua, ketiga,
tahun pertama atau tahun kedua, namun ke depan pasti akan memiliki pengaruh
yang baik.
Sedangkan membiarkan kesempatan itu dan meninggalkan kursi itu
untuk orang-orang yang jauh dari tahkim syariah merupakan tafrit yang dahsyat.
Tidak selayaknya bersikap seperti itu.
Majalah Al-Furqan : Sekarang ini di Majelis Umah di Kuwait ada Lembaga Amar Ma’ruf
Nahi Munkar. Ada yang mendukungnya tapi ada juga yang menolaknya dan hingga
kini masih menjadi perdebatan. Apa komentar Anda dalam hal ini, juga peran
lembaga ini. Apa taujih Anda bagi mereka yang menolak lembaga ini dan yang
mendukungnya?
Syaikh Al-Utsaimin: Pendapat kami adalah bermohon kepada Allah SWT agar membantu
para ikhwan kita di Kuwait kepada apa yang membuat baik dien dan dunia mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa adanya Lembaga Amar Makmur Nahi Munkar menjadikan
simbol atas syariah dan memiliki hikmah dalam muamalah hamba Allah SWT. Jelas
bahwa lembaga ini merupakan kebaikan bagi negeri dan rakyat. Semoga Allah SWT
menyukseskannya buat ikhwan di Kuwait.
Pada bulan Zul-Hijjah 1411 H bertepatan dengan bulan Mei 1996
Majalah Al-Furqan melakukan wawancara kembali dengan Syaikh Utsaimin:
Majalah Al-Furqan: Apa hukum masuk ke dalam parlemen?
Syaikh Al-’Utsaimin: Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR)
itu boleh. Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat baik mencegah kejahatan
atau memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak orang-orang shalih di dalam
lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan dan semakin jauh
dari bala’.
Sedangkan masalah sumpah untuk menghormati undang-undang, maka
hendaknya dia bersumpah unutk menghormati undang-undang selama tidak bertentangan
dengan syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya di mana setiap orang
akan mendapat sesuai yang diniatkannya.
Namun tindakan meninggalkan majelis ini buat orang-orang bodoh,
fasik dan sekuler adalah perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan
masalah. Demi Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis ini,
pastilah kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya. Namun
keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah SWT menjadikan kebaikan yang
besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia barangkali memang
benar-benar mengausai masalah, memahami kondisi masyarakat, hasil-hasil
kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan yang baik dalam berargumentasi,
berdiplomasi dan persuasi, hingga membuat anggota parlemen lainnya tidak
berkutik. Dan menghasilkan kebaikan yang banyak. (lihat majalah Al-Furqan –
Kuwait hal. 18-19)
Jadi kita memang perlu memperjuangkan Islam di segala lini
termasuk di dalam parlemen. Asal tujuannya murni untuk menegakkan Islam. Dan kami
masih punya 13 ulama lainnya yang juga meminta kita untuk berjuang menegakkan
Islam lewat parlemen. Insya Allah SWT pada kesempatan lain kami akan
menyampaikan pula. Sebab bila semua dicantumkan di sini, maka pastilah akan
memenuhi ruang ini. Mungkin kami akan menerbitkannya saja sebagai sebuah buku
tersendiri bila Allah SWT menghendaki.
Pendapat Imam Al-’Izz Ibnu Abdis Salam
Dalam kitab Qawa’idul Ahkam karya Al-’Izz bin Abdus Salam
tercantum: Bila orang kafir berkuasa pada sebuah wilayah yang luas, lalu mereka
menyerahkan masalah hukum kepada orang yang mendahulukan kemaslahatan umat
Islam secara umum, maka yang benar adalah merealisasikan hal tersebut. Hal ini
mendapatkan kemaslahatan umum dan menolak mafsadah. Karena menunda masalahat
umum dan menanggung mafsadat bukanlah hal yang layak dalam paradigma syariah
yang bersifat kasih. Hanya lantaran tidak terdapatnya orang yang sempurna untuk
memangku jabatan tersebut hingga ada orang yang memang memenuhi syarat.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami menurut pandangan imam
rahimahullah, bahwa memangku jabatan di bawah pemerintahan kafir itu adalah hal
yang diperlukan. Untuk merealisasikan kemaslahatan yang sesuai dengan syariat
Islam dan menolakmafsadah jika diserahkan kepada orang kafir. Jika dengan hal
itu maslahat bisa dijalankan, maka tidak ada larangan secara sya’ri untuk
memangku jabatan meski di bawah pemerintahan kafir.
Kasus ini mirip dengan yang terjadi di masa sekarang ini di mana
seseorang menjabat sebagai anggota parlemen pada sebuah pemeritahan non Islam.
Jika melihat pendpat beliau di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
menjadi anggota parlemen diperbolehkan.
Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Dalam kitab Thuruq Al-Hikmah, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (691- 751
H) dalam kitabnya At-Turuq al-Hukmiyah menulis:
Masalah ini cukup pelik dan rawan, juga sempit dan sulit.
terkadang sekelompok orang melewati batas, meng hilangkan hak-hak,dfan
mendorong berlaku kejahatan kepada kerusakan serta menjadikasn syariat itu
sempi sehingga tidak mampu memberikan jawaban kepada pemeluknya. dan
menghalangi diri mereka dari jalan yang benar, yaitu jalan untuk mengetahui
kebenaran dan menerapkannya. Sehingga mereka menolak hal tersebut, pada hal
mereka dan yang lainnya tahu secara pasti bahwa hal itu adalah hal yang wajib
diterapkan namun mereka menyangkal bahwa hal itu bertentangan dengan qowaid
syariah.
Mereka mengatakan bahwa hal itu tidak sesuai yang dibawa
rosulullah, yang menjadikan mereka berpikir seperti itu kurang nya mereka dalam
memahami syariah dan pengenalan kondisi lapangan atau keduanya, sehingga begitu
mereka melihat hal tersebut dan melihat orang-orang melakukan halyang tidak
sesuai yang dipahaminya, mereka melakukan kejahatan yang panjang, kerusakan
yang besar.mka permasalahannya jadi terbalik.
Di sisi lain ada kelompok yang berlawanan pendapatnya dan
menafikan hukum allah dan rosulnya. Kedua kelompok di atas sama-sama kurang
memahami risalah yang dibawa rosulnya dan diturunkan dalam kitabnya, padahal
Allah swt. telah mengutus rasulnya dan menurunkan kitabnya agar manusia
menjalankan keadilan yang dengan keadilan itu bumi dan langit di tegakkan. Bila
ciri-ciri keadilan itu mulai nampak dan wajahnya tampil dengan beragam cara mak
itulah syariat allah dan agamanya. Allah swt maha tahu dan maha hakim untuk
memilih jalan menuju keadilan dan memberinya ciri dan tanda. maka apapun jalan
yang bisa membawa tegaknya keadilan maka itu adalah bagian dari agama, dan
tidak bertentangan dengan agama.
Maka tidak boleh dikatakan bahwa politik yang adil itu berbeda
dengan syariat, tetapi sebaliknya justru sesuai dengan syariat, bahkan bagian
dari syariat itru sendiri. kami menamakannya sebagai politik sekedar mengikuti
istilah yang Anda buat tetapi pada hakikatnya merupakan keadilan allah dan
rosulnya.
Imam yang muhaqqiq ini mengatakan apapun cara untuk melahirkan
keadilan maka itu adakah bagian dari agama dan tidak bertentangan dengannya.
Jelasnya bab ini menegaskan bahwa apapun yang bisa melahirkan keadilan boleh
dilakukan dan dia bagian dari politik yang sesuai dengan syariah. Dan tidak ada
keraguan bahwa siapa yang menjabat sebuah kekuasaan maka ia harus menegakkan
keadilan yang sesuai dengan syariat. Dan berlaku ihsan bekerja untuk
kepentingan syariat meskipun di bawah pemerintahan kafir.
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan
Syekh Shaleh Alfauzan ditanya tentang hukum memasuki parlemen.
Syekh Fauzan balik bertanya, “Apa itu parlemen?” Salah seorang peserta menjawab
“Dewan legislatif atau yang lainnya” Syekh, “Masuk untuk berdakwah di
dalamnya?” Salah seorang peserta menjawab, “Ikut berperan serta di dalamnya”
Syekh, “Maksudnya menjadi anggota di dalamnya?” Peserta, “Iya.”
Syeikh: “Apakah dengan keanggotaan di dalamnya akan menghasilkan
kemaslahatan bagi kaum muslimin? Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan
bagi kaum muslimin dan memiliki tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar
berubah kepada Islam, maka ini adalah suatu yang baik, atau paling tidak
bertujuan untuk mengurangi kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan
sebagian kemaslahatan, jika tidak memungkinkan kemaslahatan seluruhnya meskipun
hanya sedikit.”
Salah seorang peserta, “Terkadang didalamnya terjadi tanazul
(pelepasan) dari sejumlah perkara dari manusia.”
Syeikh: “Tanazul yang dimaksud adalah kufur kepada Allah atau apa?”
Salah seorang peserta, “Mengakui.”
Syeikh: “Tidak boleh. adanya pengakuan tersebut. Jika dengan pengakuan
tersebut ia meninggalkan agamanya dengan alasan berdakwah kepada Allah, ini tidak
dibenarkan. Tetapi jika mereka tidak mensyaratkan adanya pengakuan terhadap
hal-hal ini dan ia tetap berada dalam keIslaman akidah dan agamanya, dan ketika
memasukinya ada kemaslahatan bagi kaum muslimin dan apa bila mereka tidak
menerimanya ia meninggalkannya, apa mungkin ia bekerja untuk memaksa mereka?
Tidak mungkin kan untuk melakukan hal tersebut. Yusuf as ketika
memasuki kementrian kerajaan, apa hasil yang ia peroleh? atau kalian tidak tahu
hasil apa yang di peroleh Nabi Yusuf as?
Atau kalian tidak tahu tentang hal ini, apa yang diperoleh Nabi
Yusuf ketika ia masuk, ketika raja berkata kepadanya, “Sesungguhnya kamu hari
ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya dis isi kami” Nabi
Yusuf saat itu menjawab, “Jadikan aku bendaharawan negara karena aku amanah dan
pandai.” Maka beliau masuk dan hukum berada di tangannya. Dan sekarang dia
menjadi raja Mesir, sekaligus nabi.
Jadi bila masuknya itu melahirkan sesuatu yang baik, silahkan
masuk saja. Tapi kalau hanya sekedar menyerahkan diri dan ridho terhadap hukum
yang ada maka tidak boleh. Demikian juga bila tidak mendatangkan maslahat bagi
umat Islam, maka masuknya tidak dibenarkan. Para ulama berkata, “Mendatangkan
manfaat dan menyempurnakannya, meski tidak seluruh manfaat, tidak boleh
diiringi dengan mafsadat yang lebih besar.”
Para ulama mengatakan bahwa Islam itu datang dengan visi menarik
maslahat dan menyempurnakannya serta menolak mafsadah dan menguranginya.
maksudnya bila tidak bisa menghilangkan semua mafsadat maka dikurangi,
mendapatkan yang terkecil dari dua dhoror, itu yang diperintahkan. Jadi
tergantung dari niat dan maksud seseorang dan hasil yang diperolehnya.
Bila masuknya lantaran haus kekuasaan dan uang lalu diam atas
segala penyelewengan yang ada, maka tidak boleh. Tapi kalau masuknya demi
kemaslahatan kaum muslimin dan dakwah kepada jalan Allah, maka itulah yang
dituntut. Tapi kalau dia harus mengakui hukum kafir maka tidak boleh, meski
tujuannya mulia. seseorang tidak boleh menjadi kafir dan berkata “Tujuan saya
mulia, saya berdakwah kepada Allah,” tidak tidak boleh itu.”
Salah seorang peserta, “Apa yang menjadi jalan keluarnya?”
“Jalan keluarnya adalah jika memang di dalamnya ada maslahat
bagi kaum muslimin dan tidak menghasilkan madharat bagi dirinya, maka hal
tersebut tidak bertentangan. Adapun jika tidak ada kemaslahatan di dalamnya
bagi kaum muslimin atau hal tersebut mengakibatkan adanya kemadorotan yaitu
pengakuan yaitu pengakuan akan kekufuran, maka hal tersebut tidak
diperbolehkan” (Rekaman suara)
Syaikh Abdullah bin Qu’ud
Sebagian orang-orang meremehkan partai-partai politik Islam yang
terdapat di sejumlah negara-negara Islam seperti Aljazair, Yaman, Sudan dan
yang lainnya. Mereka yang ikut didalamnya dituduh dengan tuduhan sekuler dan
lain-lainnya. Apa pendapat Anda tentang hal tersebut? Sikap atau peran apa yang
harusnya dilakukan oleh kaum muslimin untuk menyikapi kondisi tersebut?
Jawaban : Akar persoalan dari semua itu adalah adanya dominasi sebagian
para dai terhadap yang lainnya. Dan saya berpendapat bahwa seorang muslim yang
diselamatkan Allah dari malapetaka untuk memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya
serta berdoa untuk saudara-saudaranya di Sudan, Aljazair, Tunisia dan
negara-negara lainnya, ataupun bagi kaum muslimin yang berada di negeri-negeri
yang jelas-jelas kafir.
Dan jika hal tersebut tidak memberikan manfaat kepada mereka,
aku berpendapat minimal jangan memadhorotkan mereka. Karena sampai sekarang
tidak ada bentuk solidaritas yang nyata kepada para dai tersebut padahal mereka
telah mengalami berbagai ujian dan siksaan.
Dan kita wajib mendoakan kaum msulimin dan manaruh simpati
kepada mereka di setiap tempat. Karena seorang mokmin adalah saudara bagi
muklmin yang lainnya, jika mendengar kabar yang baik mengenai saudaranya di
Sudan, Aljazair, Tunisia atau dinegeri mana saja maka hendaknya ia merespon
positif dan seakan-akan ia berkata:
“Wahai kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat
kemenangan yang besar” (QS. An-Nisaa: 73).
Dan apa bila mendengar malapetaka yang menimpa mereka, maka
hendaklah ia mendoakan untuk saudarnya-saudaranya yang sedang diuji di negeri
mana saja, supaya Allah melepaskan mereka dari orang-orang yang sesat dan
menjadikan kekuasaan bagi kaum muslimin dan hendaklah ia memuji Allah karena
telah menjaga dirinya.
Jangan sampai ada seseorang yang bersandar dengan punggungnya di
negeri yang aman lalu mencela orang-orang atau para dai yang berjuang demi
Islam di bawah kedholiman dan keseweng-wenangan dan intimidasi. Tidak diragukan
lagi bahwa hal ini merupakan tindakan yang tidak fair. boleh jadi engkau akan
mendapat ujian jika Anda tidak merespon dengan perasaan Anda apa yang dirasakan
oleh kaum muslimin yang sedang mengalami ujian dari Allah..
Demikian petikan beberapa pendapat para ulama tentang dakwah
lewat pemilu, partai politik, parlemen dan sejenisnya. Semoga ada manfaatnya.
Oleh : Ust. Ahmad Sarwat, Lc
sumber : harakatuna.wordpress.com