Hamparan pasir. Bukit batu. Panas
terik. Dan kerumunan manusia. Panas menari di ubun-ubun. Kilaunya
memantul dari pasir dan batu-batu. Sungguh siang yang sempurna. Namun
sama sekali tak menyurutkan para peziarah. Untuk mendatangi medan Uhud.
Sebuah lanskap alami yang unik. Jika berdiri di atas bukit
Rumat,dimana dahulu Rasul SAW menempatkan pasukan panah, maka tampak di
sebelah kanan bukit Uhud yang memanjang. Terdiri hanya batu-batu.
Terjal dan tajam. Di sebelah kirinya padang pasir membentang. Sebuah
tempat yang terbuka. Di sanalah pertempuran sengit terjadi. 700 Mujahid
dari kalangan Muhajirin dan Anshor menantang 3000 pasukan Kafirin Mekah.
Menatap hamparan pasir itu, Seperti
mendengar teriakan, ringkik kuda dan dentingan pedang yang beradu.
Kepulan debu mengangkasa dan peluh bercampur darah membajiri hamparan
pasir yang kerontang. Serangan terarah pasukan Muslim membuat jantung
pertahanan musuh terbuka.
Melihat celah itu, Hamzah bin Abdul Mutholib
dengan sigap memimpin pasukan untuk terus maju mendobrak pertahanan
lawan. Mush’ab bin Umair yang membawa panji Islam melesat ke depan.
Diikuti pasukan singan jantan yang mengamuk membabat setiap hadangan
senjata lawan. Gerakan tak terduga itu membuat musuh gagap dan panik.
Sementara serangan pasukan Muslim semakin merata di setiap sektor.
Akhirnya hanya satu langkah terakhir yang diambil lawan, dengan
bersemangat mereka melarikan diri. Mundur kocar kacir. Meninggalkan
barang bawaan mereka.
“Foto tuan, foto tuan..!” Suara dialek
Arab mengejutkanku. Tukang foto amatir menawarkan jasanya padaku. Aku
mengeleng. Namun ia tak surut. Dililitkannya sorban merah di leherku.
Sambil senyum Aku menggeleng sambil melepas lilitan sorban dari
leleherku. Seperti kecewa ia berlalu meninggalkanku. Tak lama berselang,
Seorang pengemis wanita bercadar mengusikku. Menarik-narik lengan
bajuku sambil menadahkan tangannya. “Satu real, satu real..!” ujarnya
agak keras. Aku kembali menggeleng sambil tersenyum sesopan mungkin.
Bukit Rumat adalah lokasi sangat
bersejarah. Banyak peziarah mengabadikan diri dengan foto-foto. Namun
juga dihuni banyak pengemis. Amat miris. Sungguh, tempat bersejarah ini
tak layak ‘dihiasi’ pemandangan seperti itu. Karena di tempat ini
sebuah peristiwa besar terjadi. Di sinilah, saat perang Uhud dahulu,
para pemanah berhamburan turun ke hamparan padang terbuka ketika pasukan
kafirin mundur meninggalkan laga.
Dengan barang bawaan yang bertebaran
karena dilepaskan begitu saja agar tidak memberatkan kuda dan unta
mereka. Ada yang berbeda memang, hamparan padang itu kini sudah ada
bangunan persegi. Mungkin luasnya setengah lapangan sepak bola. Dengan
pagar tembok beton sekitar dua meter tingginya. Itulah komplek makam
syuhada Uhud. Dimana sayidus syuhada, Hamzah Paman Nabi SAW dimakamkan.
Bersama Mush’ab bin Umair, Abdullah bin Jahsy dan syhuhada lainnya.
Kembali lembaran memori tersingkap.
Angin panas membawa ingatan akan suasana dan kejadian yang berlangsung
kala itu. Pertempuran yang awalnya dikendalikan kaum muslimin, kini
berubah drastis. Pasukan kafir yang dikomandoi Kholid bin Walid kini
mengambil alih jalannya pertempuran. Karena kondisi bukit Rumat yang
ditinggalkan pasukan pemanah dari kaum muslimin. Pasukan muslim berada
dalam posisi terjepit. Karena pasukan kafir yang mundur kini kembali
dan berbalik melakukan serangan. Sementara dari arah bukit, pasukan
Kholid mendesak perlahan.
Korban mulai berjatuhan satu persatu.
Para prajurit muslim gugur menjadi syahid. Mush’ab bin Umair jatuh ke
tanah. Abdullah bin Jahsyi rebah tersungkur. Dan Hamzah bin Abdul
Mutholib terhuyung di tombak dari belakang. Keadaan semakin genting.
Posisi Nabi terdesak ke sisi bukit. Sungguh kondisi yang sangat kritis.
Sejarah kemudian mencatat, 70 tentara Muslim menjadi syahid. Dan
dimakamkan di tempat itu.
Berdiri di tepian makam syuhada Uhud,
Apa yang kau saksikan? Hamparan pasir. Cadas dan bukit batu. Tapi
sebenarnya adalah hamparan kesedihan. Tak perlu berlama-lama menatap
gundukan makam-makam itu. Maka kedukaan mendalam akan melingkupi
sukmamu. Dan rasa kasihan membuat alasan paling sederhana untuk
menumpahkan air mata. Takan tertahan. Pasti akan terbayang bagaimana
Hamzah tersungkur oleh tombok Wahsyi dan dirusak jasadnya oleh Hindun
binti Abi Sofyan. Mungkin kau mendengar suara takbir meninggi setelah
pasukan Muslim dihujani anak panah dan puluhan jasad tersungkur
bersimbah darah.
Berdiri di tepian makam syuhada Uhud,
apa yang kau rasakan? Sebuah fantasi ruhani. Cobalah biarkan imajinasi
berlari menerobos dimensi waktu. Tidakkah terdengar suara lembut
shalawat bersahutan. Antara ada dan tiada. Bersamaan dengan semilir
angin terdengar samar gemercik air dan keciap merdu burung-burung
berkicauan. Semerbak kesturi menyentuh saraf penciuman dengan lembutnya.
Di atas sana, awan seakan merobah formasinya.
Menggumpal-gumpal menutup
sengatan panas di atas padang berpasir. Dan tengah hari yang membara
itu, seakan berubah menjadi begitu teduh dan sejuk. Geremang suara
percakapan seakan tak putus-putus. Kadang terdengar begitu dekat,
kadang hilang seperti menjauh. Apakah sebenarnya yang tengah
berlangsung. Suara canda tawa kembali terdengar, berselingan dengan
hembusan angin dan hangatnya sinar mentari. Mungkin sebuah pesta yang
dipenuhi kecerian dan kegembiraan.
Berdiri di tepian makam syuhada Uhud,
apa yang kau dapatkan? Sebuah pelajaran teramat mahalnya bagi diri
sendiri. Bagaimana Allah menampilkan potret manusia, bahwa harta selalu
membuat tarikan sangat kuatnya. Dan ujian keimanan selalu beriringan
dengan ujian harta. Dalam model dan bentuk yang berbeda.
Kini lihatlah
dirimu, apa yang tengah terjadi? Bisa saja itulah yang tengah Kau hadapi
kini. Sesungguhnya kau tengah memperebutkan harta, padahal musuhpun
belum lagi kau kalahkan. Tapi strategi jitu sudah kau terapkan. Itulah
pelajarannya, bahwa harta bisa membuatmu bahagia. Namun ia pula yang
membuatmu menderita. Dan hilang lenyap nilai muliamu sebagai manusia.
Berdiri di tepian makam syuhada Uhud,
sebenarnya sebuah tazkiroh untuk diri. Bahwa kita tengah berdiri , di
tepian makam sendiri. [pks-subang]
Subang, 21 April 2014