Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW dan para shahabatnya seumur-umur
belum pernah ikut pemilu, apalagi membangun dan mengurusi partai politik.
Realita seperti ini sudah disepakati oleh semua orang, termasuk para ahli
sejarah, ulama dan juga semua umat Islam.
Dengan realita seperti ini, sebagian kalangan lalu mengharamkan
pemilu dan mendirikan partai. Alasannya, karena tidak ada contoh dari Nabi
Muhammad SAW, juga tidak pernah dilakukan oleh para shahabat belia yang mulia,
bahkan sampai sekian generasi berikutnya, tidak pernah ada pemilu dan pendirian
partai politik dalam sejarah Islam.
Bahkan sebagian dari mereka sampai mengeluarkan statemen unik,
yaitu bahwa ikut pemilu dan menjalankan partai merupakan sebuah bid’ah dhalalah,
di mana pelakunya pasti akan masuk neraka.
Ditambah lagi pandangan sebagian mereka bahwa sistem pemilu,
partai politik dan ide demokrasi merupakan hasil pemikiran orang-orang kafir.
Sehingga semakin haram saja hukumnya.
Tentu saja pendapat seperti ini bukan satu-satunya buah pikiran
yang muncul di kalangan umat. Sebagian lain dari elemen umat ini punya
pandangan berbeda. Mereka tidak mempermasalahkan bahwa dahulu Rasulullah SAW
dan para shahabat tidak pernah ikut pemilu dan berpartai.
Sebab pemilu dan partai hanyalah sebuah fenomena zaman tertentu
dan bukan esensi. Lagi pula, tidak ikutnya beliau SAW dan tidak mendirikan
partai, bukanlah dalil yang sharih dari haramnya kedua hal itu. Bahwa asal usul
pemilu, partai dan demokrasi yang konon dari orang kafir, tidak otomatis
menjadikan hukumnya haram.
Dan kalau mau jujur, memang tidak ada satu pun ayat Quran atau
hadits nabi SAW yang secara zahir mengharamkan partai politik, pemilu atau
demokrasi. Sebagaimana juga tidak ada dalil yang secara zahir membolehkannya.
Kalau pun ada fatwa yang mengharamkan atau membolehkan, semuanya berangkat dari
istimbath hukum yang panjang. Tidak berdasarkan dalil-dalil yang tegas dan
langsung bisa dipahami.
Namun tidak sedikit dari ulama yang punya pandangan jauh dan
berupaya melihat realitas. Mereka memandang meski pemilu, partai politik serta
demokrasi datang dari orang kafir, mereka tetap bisa melihat esensi dan kenyataan.
Berikut ini kami petikkan beberapa pendapat sebagian ulama dunia tentang
hal-hal yang anda tanyakan.
Seruan Para Ulama untuk Mendukung Dakwah Lewat Parlemen
Apa komentar para ulama tentang masuknya muslimin ke dalam
parlemen? Dan apakah mereka membid’ahkannya?
Ternyata anggapan yang menyalahkan dakwah lewat parlemen itu
keliru, sebab ada sekian banyak ulama Islam yang justru berkeyakinan bahwa
dakwah lewat parlemen itu boleh dilakukan. Bahkansebagiannya memandang bahwa
bila hal itu merupakan salah stu jalan sukses menuju kepada penegakan syariat
Islam, maka hukumnya menjadi wajib.
Di antara para ulama yang memberikan pendapatnya tentang
kebolehan atau keharusan dakwah lewat parlemen antara lain:
1. Imam Al-’Izz Ibnu Abdis Salam
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
3. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
4. Muhammad Rasyid Ridha
5. Syeikh Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di: Ulama Qasim
6. Syeikh Ahmad Muhammad Syakir: Muhaddis Lembah Nil
7. Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi
8. Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
9. Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin
10. Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-AlBani
11. Syeikh Dr. Shalih bin Fauzan
12. Syeikh Abdullah bin Qu’ud
13. Syeikh Dr. Umar Sulaiman Al-’Asyqar
14. Syeikh Abdurrahman bin Abdul Khaliq
Kalau diperhatikan, yang mengatakan demikian justru para ulama
yang sering dianggap kurang peka pada masalah politik praktis. Ternyata
gambaran itu tidak seperti yang kita kira sebelumnya. Siapakah yang tidak kenal
Bin Baz, Utsaimin, Albani, Asy-Syinqithi, Shalih Fauzan dan lainnya?
Pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Fatwa Pertama
Sebuah pertanyaan diajukan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz
tentang dasar syariah mengajukan calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan hukum Islam atas kartu peserta pemilu dengan niat memilih untuk
memilih para da’i dan aktifis sebagai anggota legislatif. Maka beliau menjawab:
Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap amal itu tergantung pada
niatnya. Setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Oleh karena itu tidak
ada masalah untuk masuk ke parlemen bila tujuannya memang membela kebenaran
serta tidak menerima kebatilan. Karena hal itu memang membela kebenaran dan
dakwah kepada Allah SWT.
Begitu juga tidak ada masalah dengan kartu pemilu yang membantu
terpilihnya para da’i yang shalih dan mendukung kebenaran dan para pembelanya,
wallahul muwafiq.
Fatwa Kedua
Di lain waktu, sebuah pertanyaan diajukan kepada Syeikh Bin Baz:
Apakah para ulama dan duat wajib melakukan amar makruf nahi munkar dalam bidang
politik? Dan bagaimana aturannya?
Beliau menjawab bahwa dakwah kepada Allah SWT itu mutlak
wajibnya di setiap tempat. Amar makruf nahi munkar pun begitu juga. Namun harus
dilakukan dengan himah, uslub yang baik, perkataan yang lembut, bukan dengan
cara kasar dan arogan. Mengajak kepada Allah SWT di DPR, di masjid atau di
masyarakat.
Lebih jauh beliau menegaskan bahwa bila dia memiliki bashirah
dan dengan cara yang baik tanpa berlaku kasar, arogan, mencela atau ta’yir
melainkan dengan kata-kata yang baik.
Dengan mengatakan wahai hamba Allah, ini tidak boleh semoga
Allah SWT memberimu petunjuk. Wahai saudaraku, ini tidak boleh, karena Allah
berfirman tentang masalah ini begini dan Rasulullah SAW bersabda dalam masalah
itu begitu. Sebagaimana firman Allah SWT:
Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS An-Nahl: 125).
Ini adalah jalan Allah dan ini adalah taujih Rabb kita. Firman
Allah SWT:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu? (QS Ali Imran: 159)
Dan tidak merubah dengan tangannya kecuali bila memang mampu.
Seperti merubha isteri dan anak-anaknya, atau seperti pejabat yang berpengaruh
pada sebuah lembaga. Tetapi bila tidak punya pengaruh, maka dia mengangkat
masalah itu kepada yang punya kekuasaan dan memintanya untuk menolak
kemungkaran dengan cara yang baik.
Fatwa Ketiga
Majalah Al-Ishlah pernah juga bertanya kepada Syeikh yang pernah
menjadi Mufti Kerajaan Saudi Arabia. Mereka bertanya tentang hukum masuknya
para ulama dan duat ke DPR, parlemen serta ikut dalam pemilu pada sebuah negara
yang tidak menjalankan syariat Islam. Bagaimana aturannya?
Syaikh Bin Baz menjawab bahwa masuknya mereka berbahaya, yaitu
masuk ke parlemen, DPR atau sejenisnya. Masuk ke dalam lembaga seperti itu
berbahaya namun bila seseorang punya ilmu dan bashirah serta menginginkan
kebenaran atau mengarahkan manusia kepada kebaikan, mengurangi kebatilan, tanpa
rasa tamak pada dunia dan harta, maka dia telah masuk untuk membela agam Allah
SWT, berjihad di jalan kebenaran dan meninggalkan kebatilan. Dengan niat yang
baik seperti ini, saya memandang bahwa tidak ada masalah untuk masuk parlemen.
Bahkan tidak selayaknya lembaga itu kosong dari kebaikan dan pendukungnya.
Bila dia masuk dengan niat seperti ini dengan berbekal bashirah
hingga memberikan posisi pada kebenaran, membelanya dan menyeru untuk
meninggalkan kebatilan, semoga Allah SWT memberikan manfaat dengan
keberadaannya hingga tegaknya syariat dengan niat itu. Dan Allah SWT memberinya
pahala atas kerjanya itu.
Namun bila motivasinya untuk mendapatkan dunia atau haus
kekuasaan, maka hal itu tidak diperbolehkan. Seharusnya masuknya untuk mencari
ridha Allah, akhirat, membela kebenaran dan menegakkannya dengan
argumen-argumennya, niscaya majelis ini memberinya ganjaran yang besar.
Fatwa Keempat
Pimpinan Jamaah Ansharus sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan, Syaikh
Muhammad Hasyim Al-Hadyah bertanya kepada Syaikh bin Baz pada tanggal 4 Rabi’ul
Akhir 1415 H. Teks pertanyaan beliau adalah:
Dari Muhammad Hasyim Al-Hadyah, Pemimpin Umum Jamaah Ansharus-Sunnah
Al-Muhammadiyah di Sudan kepada Samahah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, mufti
umum Kerajaan Saudi Arabia dan Ketua Hai’ah Kibar Ulama wa Idarat Al-buhuts
Al-Ilmiyah wal Ifta’.
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. Saya mohon fatwa atas masalah berikut:
Bolehkah seseorang menjabat jabatan politik atau adminstratif pada pemerintahan Islam atau kafir bila dia seorang yang shalih dan niatnya mengurangi kejahatan dan menambah kebaikan? Apakah dia diharuskan untuk menghilangkan semua bentuk kemungkaran meski tidak memungkinkan baginya? Namun dia tetap mantap dalam aiqdahnya, kuat dalam hujjahnya, menjaga agar jabatan itu menjadi sarana dakwah. Demikian, terima kasih wassalam.
Jawaban Seikh Bin Baz:
Wa ‘alaikumussalam wr wb. Bila kondisinya seperti yang Anda
katakan, maka tidak ada masalah dalam hal itu. Allah SWT berfirman,”Tolong
menolonglah kamu dalam kebaikan.” Namun janganlah dia membantu kebatilan atau
ikut di dalamnya, karena Allah SWT berfirman,”Dan janganlah saling tolong dalam
dosa dan permusuhan.” Waffaqallahul jami’ lima yurdhihi, wassalam wr. Wb.
Bin Baz
Oleh : Ustd. Ahmad Sarwat, Lc
sumber : harakatuna.wordpress.com
Bersambung ke BERPARTAI ADAKAH CONTOHNYA DARI NABI ? [2]
0 komentar:
Posting Komentar