Rabu, 11 Desember 2013

BERPARTAI ADAKAH CONTOHNYA DARI NABI ? [1]


Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW dan para shahabatnya seumur-umur belum pernah ikut pemilu, apalagi membangun dan mengurusi partai politik. Realita seperti ini sudah disepakati oleh semua orang, termasuk para ahli sejarah, ulama dan juga semua umat Islam.

Dengan realita seperti ini, sebagian kalangan lalu mengharamkan pemilu dan mendirikan partai. Alasannya, karena tidak ada contoh dari Nabi Muhammad SAW, juga tidak pernah dilakukan oleh para shahabat belia yang mulia, bahkan sampai sekian generasi berikutnya, tidak pernah ada pemilu dan pendirian partai politik dalam sejarah Islam.

Bahkan sebagian dari mereka sampai mengeluarkan statemen unik, yaitu bahwa ikut pemilu dan menjalankan partai merupakan sebuah bid’ah dhalalah, di mana pelakunya pasti akan masuk neraka.
Ditambah lagi pandangan sebagian mereka bahwa sistem pemilu, partai politik dan ide demokrasi merupakan hasil pemikiran orang-orang kafir. Sehingga semakin haram saja hukumnya.

Tentu saja pendapat seperti ini bukan satu-satunya buah pikiran yang muncul di kalangan umat. Sebagian lain dari elemen umat ini punya pandangan berbeda. Mereka tidak mempermasalahkan bahwa dahulu Rasulullah SAW dan para shahabat tidak pernah ikut pemilu dan berpartai. 

Sebab pemilu dan partai hanyalah sebuah fenomena zaman tertentu dan bukan esensi. Lagi pula, tidak ikutnya beliau SAW dan tidak mendirikan partai, bukanlah dalil yang sharih dari haramnya kedua hal itu. Bahwa asal usul pemilu, partai dan demokrasi yang konon dari orang kafir, tidak otomatis menjadikan hukumnya haram.
 
Dan kalau mau jujur, memang tidak ada satu pun ayat Quran atau hadits nabi SAW yang secara zahir mengharamkan partai politik, pemilu atau demokrasi. Sebagaimana juga tidak ada dalil yang secara zahir membolehkannya. Kalau pun ada fatwa yang mengharamkan atau membolehkan, semuanya berangkat dari istimbath hukum yang panjang. Tidak berdasarkan dalil-dalil yang tegas dan langsung bisa dipahami.

Namun tidak sedikit dari ulama yang punya pandangan jauh dan berupaya melihat realitas. Mereka memandang meski pemilu, partai politik serta demokrasi datang dari orang kafir, mereka tetap bisa melihat esensi dan kenyataan. Berikut ini kami petikkan beberapa pendapat sebagian ulama dunia tentang hal-hal yang anda tanyakan.

Seruan Para Ulama untuk Mendukung Dakwah Lewat Parlemen 

Apa komentar para ulama tentang masuknya muslimin ke dalam parlemen? Dan apakah mereka membid’ahkannya?

Ternyata anggapan yang menyalahkan dakwah lewat parlemen itu keliru, sebab ada sekian banyak ulama Islam yang justru berkeyakinan bahwa dakwah lewat parlemen itu boleh dilakukan. Bahkansebagiannya memandang bahwa bila hal itu merupakan salah stu jalan sukses menuju kepada penegakan syariat Islam, maka hukumnya menjadi wajib.

Di antara para ulama yang memberikan pendapatnya tentang kebolehan atau keharusan dakwah lewat parlemen antara lain:

1.      Imam Al-’Izz Ibnu Abdis Salam

2.      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

3.      Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

4.      Muhammad Rasyid Ridha

5.      Syeikh Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di: Ulama Qasim

6.      Syeikh Ahmad Muhammad Syakir: Muhaddis Lembah Nil

7.      Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi

8.      Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

9.      Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin

10.  Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-AlBani

11.  Syeikh Dr. Shalih bin Fauzan

12.  Syeikh Abdullah bin Qu’ud

13.  Syeikh Dr. Umar Sulaiman Al-’Asyqar

14.  Syeikh Abdurrahman bin Abdul Khaliq

Kalau diperhatikan, yang mengatakan demikian justru para ulama yang sering dianggap kurang peka pada masalah politik praktis. Ternyata gambaran itu tidak seperti yang kita kira sebelumnya. Siapakah yang tidak kenal Bin Baz, Utsaimin, Albani, Asy-Syinqithi, Shalih Fauzan dan lainnya?

Pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Fatwa Pertama
Sebuah pertanyaan diajukan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz tentang dasar syariah mengajukan calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan hukum Islam atas kartu peserta pemilu dengan niat memilih untuk memilih para da’i dan aktifis sebagai anggota legislatif. Maka beliau menjawab:

Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap amal itu tergantung pada niatnya. Setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Oleh karena itu tidak ada masalah untuk masuk ke parlemen bila tujuannya memang membela kebenaran serta tidak menerima kebatilan. Karena hal itu memang membela kebenaran dan dakwah kepada Allah SWT.

Begitu juga tidak ada masalah dengan kartu pemilu yang membantu terpilihnya para da’i yang shalih dan mendukung kebenaran dan para pembelanya, wallahul muwafiq.

Fatwa Kedua
Di lain waktu, sebuah pertanyaan diajukan kepada Syeikh Bin Baz: Apakah para ulama dan duat wajib melakukan amar makruf nahi munkar dalam bidang politik? Dan bagaimana aturannya?

Beliau menjawab bahwa dakwah kepada Allah SWT itu mutlak wajibnya di setiap tempat. Amar makruf nahi munkar pun begitu juga. Namun harus dilakukan dengan himah, uslub yang baik, perkataan yang lembut, bukan dengan cara kasar dan arogan. Mengajak kepada Allah SWT di DPR, di masjid atau di masyarakat.

Lebih jauh beliau menegaskan bahwa bila dia memiliki bashirah dan dengan cara yang baik tanpa berlaku kasar, arogan, mencela atau ta’yir melainkan dengan kata-kata yang baik.

Dengan mengatakan wahai hamba Allah, ini tidak boleh semoga Allah SWT memberimu petunjuk. Wahai saudaraku, ini tidak boleh, karena Allah berfirman tentang masalah ini begini dan Rasulullah SAW bersabda dalam masalah itu begitu. Sebagaimana firman Allah SWT:

Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS An-Nahl: 125).
 
Ini adalah jalan Allah dan ini adalah taujih Rabb kita. Firman Allah SWT:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu? (QS Ali Imran: 159)

Dan tidak merubah dengan tangannya kecuali bila memang mampu. Seperti merubha isteri dan anak-anaknya, atau seperti pejabat yang berpengaruh pada sebuah lembaga. Tetapi bila tidak punya pengaruh, maka dia mengangkat masalah itu kepada yang punya kekuasaan dan memintanya untuk menolak kemungkaran dengan cara yang baik.

Fatwa Ketiga
Majalah Al-Ishlah pernah juga bertanya kepada Syeikh yang pernah menjadi Mufti Kerajaan Saudi Arabia. Mereka bertanya tentang hukum masuknya para ulama dan duat ke DPR, parlemen serta ikut dalam pemilu pada sebuah negara yang tidak menjalankan syariat Islam. Bagaimana aturannya?

Syaikh Bin Baz menjawab bahwa masuknya mereka berbahaya, yaitu masuk ke parlemen, DPR atau sejenisnya. Masuk ke dalam lembaga seperti itu berbahaya namun bila seseorang punya ilmu dan bashirah serta menginginkan kebenaran atau mengarahkan manusia kepada kebaikan, mengurangi kebatilan, tanpa rasa tamak pada dunia dan harta, maka dia telah masuk untuk membela agam Allah SWT, berjihad di jalan kebenaran dan meninggalkan kebatilan. Dengan niat yang baik seperti ini, saya memandang bahwa tidak ada masalah untuk masuk parlemen. Bahkan tidak selayaknya lembaga itu kosong dari kebaikan dan pendukungnya.

Bila dia masuk dengan niat seperti ini dengan berbekal bashirah hingga memberikan posisi pada kebenaran, membelanya dan menyeru untuk meninggalkan kebatilan, semoga Allah SWT memberikan manfaat dengan keberadaannya hingga tegaknya syariat dengan niat itu. Dan Allah SWT memberinya pahala atas kerjanya itu.

Namun bila motivasinya untuk mendapatkan dunia atau haus kekuasaan, maka hal itu tidak diperbolehkan. Seharusnya masuknya untuk mencari ridha Allah, akhirat, membela kebenaran dan menegakkannya dengan argumen-argumennya, niscaya majelis ini memberinya ganjaran yang besar.

Fatwa Keempat
Pimpinan Jamaah Ansharus sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan, Syaikh Muhammad Hasyim Al-Hadyah bertanya kepada Syaikh bin Baz pada tanggal 4 Rabi’ul Akhir 1415 H. Teks pertanyaan beliau adalah:

Dari Muhammad Hasyim Al-Hadyah, Pemimpin Umum Jamaah Ansharus-Sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan kepada Samahah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, mufti umum Kerajaan Saudi Arabia dan Ketua Hai’ah Kibar Ulama wa Idarat Al-buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta’.
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. Saya mohon fatwa atas masalah berikut:

Bolehkah seseorang menjabat jabatan politik atau adminstratif pada pemerintahan Islam atau kafir bila dia seorang yang shalih dan niatnya mengurangi kejahatan dan menambah kebaikan? Apakah dia diharuskan untuk menghilangkan semua bentuk kemungkaran meski tidak memungkinkan baginya? Namun dia tetap mantap dalam aiqdahnya, kuat dalam hujjahnya, menjaga agar jabatan itu menjadi sarana dakwah. Demikian, terima kasih wassalam.
 
Jawaban Seikh Bin Baz:
Wa ‘alaikumussalam wr wb. Bila kondisinya seperti yang Anda katakan, maka tidak ada masalah dalam hal itu. Allah SWT berfirman,”Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan.” Namun janganlah dia membantu kebatilan atau ikut di dalamnya, karena Allah SWT berfirman,”Dan janganlah saling tolong dalam dosa dan permusuhan.” Waffaqallahul jami’ lima yurdhihi, wassalam wr. Wb.

Bin Baz

Oleh : Ustd. Ahmad Sarwat, Lc
sumber : harakatuna.wordpress.com

Share on :

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Indonesia Bangkit ! 2013 - Redesigned by @defio84 | Powered by Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all