Kekejaman
tentara Israel terhadap warga Palestina meninggalkan bekas luka, baik
fisik maupun mental. Tidak jarang, warga Palestina yang mengalami
kekerasan oleh tentara zionis mengalami gangguan jiwa.
Salah satunya dialami oleh Aamil, warga Hebron, Palestina. Menurut pernyataan Médecins Sans Frontières (Dokter Lintas Batas/MSF) kepada VIVAnews, Kamis 12 Desember 2013, Aamil adalah warga Palestina yang bekerja di Israel.
Namun,
pria 30 tahun ini jadi sulit bekerja setelah Israel membangun dinding
yang memisahkan warga Palestina dan Yahudi. Padahal, dia harus mencari
uang untuk membiayai pernikahannya. Akhirnya, dia mencari jalan pintas,
memanjat dinding, ketimbang melalui pos pemeriksaan.
Saat berada
di atas dinding, naas, tentara Israel telah menunggunya di bawah. “Ayo
turun, kami tidak akan menyakitimu; kami akan mengizinkanmu keluar dan
kembali masuk melalui pos pemeriksaan,” kata tentara Israel itu.
Namun
tentara ini berbohong. Saat Aamil turun dia ditarik dan dipukuli. Aamil
dibawa ke sebuah tempat di perbukitan. Di sana dia ditinggal sendirian.
Beruntung, setelah beberapa jam berlalu, kawannya menelepon ponselnya
dan ambulans menjemputnya pada pukul satu pagi.
Hasil rumah
sakit: tulang panggul, siku, dan pergelangan tangan Aamil retak, kandung
kemihnya pecah. Ia di rumah sakit selama enam bulan. MSF mulai
merawatnya karena depresi. Hingga kini, Aamil masih mengalami gangguan
kejiwaan berupa depresi yang kemungkinan akan selamanya melekat.
Perangainya
berubah menjadi pendiam. Pacarnya memutuskan pertunangan, membuatnya
semakin terpukul. “Kini mereka meninggalkan saya sendiri, saya merasa
tidak diterima di rumah. Apakah saya punya masa depan? Harapan? Saya
sama sekali tidak optimistis,” Aamil menuturkan.
Huda dan Dua Anaknya
Aamil
bukanlah satu-satunya warga Palestina yang menderita gangguan jiwa. Hal
ini dialami juga oleh anak-anak yang ditangkap secara ilegal oleh
tentara Israel. Di antara mereka adalah Ashraf dan Jamal, berusia 7 dan 8
tahun.
Keduanya ditangkap tentara Israel di Silwan, Yerusalem,
bersama 10 anak lainnya. Saat memberontak, kepala mereka dibenturkan ke
badan mobil. Gigi depan Ashraf patah. Ibunya, Huda, mencari anak-anak
mereka dari kantor polisi hingga perbukitan. Akhirnya, dia menemukan dua
buah hatinya mendekam di penjara Russian Compound di pusat kota.
Anak-anaknya
ditahan dengan tuduhan klasik ‘melempari tentara dengan batu’. Menurut
Huda, tentara tidak punya bukti. Orangtua dan saudara mengajukan protes
ke petugas. Petugas meminta mereka menandatangani dokumen yang
mengatakan anak-anak telah melempar batu. Mereka menolak tanda tangan.
Anak-anak
ditahan selama seminggu. Menurut anak-anak, mereka kerap dipukul.
Mereka diperbolehkan menelepon ke rumah. Akhirnya, anak-anak pun
dibebaskan. Akibat peristiwa ini, anak-anak tersebut trauma berat.
Prestasi Ashraf dan Jamal di sekolah anjlok.
“Mereka susah tidur
dan saat tidur sering bermimpi buruk melihat tentara mendobrak pintu dan
meringkus mereka dan orang-orang lainnya. Anak saya yang besar
mengompol seperti bayi. Mereka tidak berani keluar, jarang tidur, mereka
sangat kaget dan takut mendengar bel, mereka sangat takut pada polisi,”
Huda menuturkan.
Setahun kemudian, anak-anak itu masih jarang
keluar rumah, mereka lebih suka di rumah bersama ibu dan adik bayinya,
bermain komputer. Mereka sangat pendiam dan penurut, bisa dibilang
terlalu pendiam.
Kemudian, Huda mulai berkonsultasi dengan MSF.
“Ada seorang psikolog yang menemui anak-anak dan setelah beberapa waktu,
saya bisa melihat perkembangan mereka. Di kelas mereka lebih aktif dan
napsu makan membaik. Namun, anak saya yang kecil selalu membawa mainan
favoritnya di tas, seolah dia takut jika kejadian itu terulang lagi,
seolah mainannya bisa sedikit membuatnya merasa tenang,” ujar Huda.
Huda, yang suaminya tidak bekerja punya masalah lain. Rumahnya yang sederhana, dibangun di dekat gunung, akan digusur.
Penduduk
tidak diizinkan membangun di wilayah Palestina di Yerusalem Timur.
Namun jumlah penduduk terus bertambah, mereka perlu tempat tinggal dan
membangun rumah. MSF telah memperkenalkan Huda dengan seorang pengacara
yang akan membantunya mengurus persoalan hukum rumahnya.
“Saya hanya ingin hidup tenang, anak saya bisa ke sekolah dan bisa pulang ke rumah setiap harinya.”
Foto : Ashraf dan Jamal, anak Palestina yang disiksa tentara Israel
sumber : viva.co.id