Senin, 06 Januari 2014
Adalah hal bagus jika seseorang
aktif dalam kegiatan keislam di kampus atau masjid. Hanya saja, menjadi
tidak bagus jika sepulang kegiatan justru melahirkan kegiatan yang
dilarang syar’i.
Demikian disampaikan Bendri
Jaisyurrahman dari Yayasan Sahabat Ayah saat ikut menyemarakkan acara
Silaturahmi Akbar (Silakbar) Kerohanian Islam (Rohis) se-Jakarta Timur,
Sabtu (04/01/2014) di AQL Islamic Center (AQLIC), Tebet, Jakarta
Selatan.
“Islami, sih ikut Rohis. Shalat berjamaah di Masjid. Tapi, pulangnya, jalan bareng sama pacarnya. Begitu akan berpisah, si akhwat cium tangan ikhwan-nya,”
kata alumni STID DI Al Hikmah dan Ma’had Utsman Bin Affan, Jakarta itu.
Pria yang banyak mengisi kajian keislaman remaja tersebut mengungkapkan
“virus merah jambu” yang kerap mendera para aktivis dakwah.
Dalam pemaparannya, ia mempertanyakan kesyar’ian hubungan yang belum diikat dengan pernikahan yang sah. Walaupun menohok banyak remaja, ucapan Bendri membuat para aktivis Rohis yang berada di depannya, tertawa geli.
Bendri menyebut aktivis dakwah semacam itu sebagai “Playboy Fisabilillah”. Interaksi sesama aktivis dakwah
yang berlawanan jenis, jika tidak hati-hati, menjerumuskan dalam jurang
maksiat. Contoh menarik yang dipaparkan Bendri, misalnya
seperti saling mengingatkan shalat Tahajud. “Takbirnya paling kencang.
Tapi untuk hal semacam itu, justru dia langgar,”ulas pria yang
mempelajari ilmu psikologi remaja itu.
Menurut Bendri, suatu kewajaran
jika virus itu menjangkiti remaja dan kaum muda. Tidak terkecuali para
aktivis dakwah. Hanya saja, ilmu syariah dasar yang sudah mereka
dapatkan, seharusnya menjadi tameng perbuatan maksiat.
Selain itu, ia juga menerangkan
kekeliruan pemahaman tentang perjuangan seorang aktivis dakwah.
Menurutnya, hakikat berjuang di jalan Allah subhanallahu wata’ala itu
tidak mengedepankan hal-hal artifisial sementara hal pokok
dikesampingkan.
“Kalau nggak hapal nasyid, dibilangnya nggak ngikhwan. Kalau nggak punya jenggot dan celana tidak dari jenis bahan tertentu, juga disebut nggak ngikhwan. Waktu ditanya, kenapa harus begitu? Dia bilang, nggak tahu. Tapi di sisi lain, mereka tidak menghidupkan majelis Al Qur’an.”
Menurutnya, saat ini banyak
aktivis yang terjebak dalam pemikiran semacam itu. Akibatnya, banyak hal
penting terkait program dakwah terabaikan.*