Jumat, 13 Desember 2013

‘Party ID’ Jadi Obat Penawar Politik Uang

[JAKARTA] Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, meyakini peningkatan "Party ID" atau kedekatan pemilih terhadap partai politik dapat menjadi obat penawar atas praktik politik uang.

"Saya menarik kesimpulan bahwa peningkatan 'Party ID' dapat menjadi 'antidote' atau obat penawar atas praktik politik uang dalam pelaksanaan pemilu ataupun pemilihan kepala daerah di Indonesia," kata Burhanuddin dalam paparan hasil penelitian "Sikap dan Perilaku Pemilih Terhadap Politik Uang" oleh Indikator Politik Indonesia di Jakarta, Kamis (12/12).

Hasil penelitian tersebut memang memperlihatkan bahwa kedekatan pemilih dengan parpol menjadi salah satu dari tiga faktor yang secara signifikan mempengaruhi kecenderungan perilaku pemilih terhadap politik uang.

Sebanyak 69 persen pemilih yang mengaku memiliki kedekatan erat dengan parpol cenderung menolak menerima pemberian berupa uang ataupun barang dalam kerangka politik uang.

Hal itu berbanding terbalik dengan kecenderungan 47 persen pemilih tanpa kedekatan parpol yang menerima pemberian uang.

"Semakin dia tidak memiliki kedekatan dengan parpol, semakian dia toleran dan menerima terhadap politik uang. Begitupun sebaliknya, semakian dia dekat dengan parpol, semakin besar kecenderungan menolak," kata Burhan.

Sementara itu dua faktor signifikan lain yang mempengaruhi kecenderungan pemilih menerima pemberian uang oleh parpol atau calon anggota legislatif adalah tingkat pendidikan dan pengalaman terdahulu terhadap praktik serupa.

Oleh karena itu, Burhan menyarankan bahwa upaya penurunan praktik politik uang harus disikapi melalui peningkatan kedekatan konstituen dengan parpol.

"Sebab untuk memperbaiki tingkat pendidikan sulit dilakukan dalam waktu pendek, akan tetapi peningkatan 'Party ID' jauh lebih memungkinkan," ujar Burhan.

"Tingkat 'Party ID' di Indonesia hanya 10 persen pada Oktober 2013, itu tingkat yang sangat membuka dorongan ke arah politik transaksional," katanya menambahkan.

Hasil survei indikator memperlihatkan terdapat perbedaan sikap di antara pemilih yang memiliki tingkat pendidikan berbeda dalam menanggapi politik uang.

"Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin kecil kecenderungan menerima pemberian," kata Burhanuddin.

Pemilih berpendidikan Perguruan Tinggi hanya 23 persen yang mengaku menerima pemberian politik uang dan 70 persen menolak.

Sedangkan sebanyak 49 persen pemilih berpendidikan Sekolah Dasar (SD) atau di bawahnya mengaku menerima pemberian politik uang. Sementara hanya 37 persen pemilih berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang mengaku menerima.

Sedangkan faktor pengalaman terdahulu berkaitan erat dengan apakah pemilih pernah ditawari uang atau barang serta pernah menyaksikan atau mendengar orang lain menerimanya.

Bagi pemilih yang mengaku pernah ditawari atau menyaksikan orang menerima lebih dari 50 persen menyatakan akan menerima pemberian uang atau barang yang ditawarkan.

Beberapa faktor pendekatan lain yang coba digunakan oleh Indikator untuk mengukur toleransi dan perilaku terhadap politik uang adalah gender, demografi desa-kota, usia, pendapatan, dan keanggotaan organisasi.

Dua faktor lain yang cukup signifikan mempengaruhi adalah demografi desa-kota dan pendapatan.

Sebanyak 47 persen pemilih di desa akan menerima pemberian politik uang, berbanding hanya 36 persen warga kota yang akan menerima hal serupa.

Kemudian memang tidak bisa dipungkiri bahwa faktor tingkat pendapatan akan mempengaruhi perilaku terhadap politik uang.

Sebanyak 47 persen pemilih berpendapatan di bawah Rp1 juta mengaku menerima pemberian, sedangkan untuk pemilih berpendapatan Rp1 - Rp2 juta dan di atas Rp2 juta masing-masing hanya mencapai 41 persen dan 30 persen yang menerima.

Sedangkan untuk faktor lain, yaitu gender, usia dan keanggotaan organisasi cenderung tidak terlalu signifikan mempengaruhi toleransi dan perilaku terhadap politik uang.

Survei Indikator di tingkat dapil berlangsung di 39 dapil dengan mengambil sampel 400 orang yang telah memenuhi syarat hak pilih di masing-masing dapil selama September-Oktober 2013.

Sementara survei nasional mengambil sampel sebanyak 1.200 warga negara Indonesia yang sudah memiliki hak pilih dengan menggunakan metode "multistage random sampling" dan perkiraan rentang error sebesar sebesar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

 sumber : suarapembaruan.com
Share on :

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Indonesia Bangkit ! 2013 - Redesigned by @defio84 | Powered by Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all