Kamis, 21 November 2013

MEMIMPIN DIMASA KRISIS

Sejarah memang selalu begitu. Ia tak ubahnya organisme hidup, lahir, tumbuh, berkembang, untuk kemudian menua dan akhirnya mati. Siklus sejarah ini mempertemukan khazanah timur dan barat tentang teoritisasi sejarah dan peradaban, setidaknya antara Ibnu Khaldun dan Arnold Toynbee.

Di level pertumbuhan, setiap peradaban yang pernah mengisi ruang-ruang sejarah menuntaskan tahap formulasi sekaligus proses re-identifikasi gerakan, untuk kemudian melalui tahapan transformasi dilevel perkembangan. Lalu beberapa masa setelahnya memasuki masa kemapanan status quo, dan kemudian menua lalu runtuh. Tradisi umumnya, masa tua itu diawali oleh krisis dan dipungkasi dengan revolusi atau setidaknya peralihan kekuasaan. Inilah teori pertama!

Peradaban mesir kuno setelah lebih 3000 tahun dibawah regim para Fir'aun, menua di penghujung akhir kejayaannya. Gejolak sosial akibat politik antisemitisme, berubah menjadi gerakan perlawanan kala krisis sosial ini menemukan seorang pemuda bernama Musa. Dan berakhirlah sejarah Fir'aun dilarung gelombang laut merah, dengan seluruh legenda kedigdayaannya.

Setidaknya pendekatan ini jua yang mampu menjelaskan fenomena "the Arabian Spring", yang kini terus bergulir di negera-negera Arab. Regim Ben Ali, khadaffi, Mubarak, dan tak akan lama lagi menyusul Regim Al-Assad, itu telah menua, setelah masa kejayaannya. Krisis dimasing-masing negara itu, menemukan "Rijal"-nya (aktornya). Dan Fakta ini menjelaskan, bahwa krisis akan terus bergulir hingga ia menemukan pemimpinnya. Inilah teori ke-dua!

Perlu performa khusus memang, memegang tampuk kepemimpinan di masa krisis. Rumusan parameter keberhasilannya secara simplistik adalah mengelola kompetensi jauh melampaui ekspektasi kolektif masyarakat, atau paling tidak linier dengannya. Oleh karenanya biasanya model pemimpin seperti ini memiliki tabiat unik sebagaimana karakter masa-masa krisis yang berat. Itulah mengapa maestro musik Indonesia Iwan Fals menyebut mereka dengan "Manusia setengah Dewa".
Beruntunglah kita, sejarah Peradaban Islam tak pernah sepi melahirkan pemimpin-pemimpin unik sebagai jawaban atas krisis zaman yang pernah terjadi.

Pembahasan tema ini tak valid rasanya jika tak menyebut nama Umar bin Abdul Aziz. Krisis pemerintahan yang terjadi melambungkan namanya ke panggung sejarah. Masa muda dilingkungan aristokrat memang membuatnya tak ubahnya anak-anak muda berlatar belakang kaum borjuis pada umumnya. Tampil klimis, Necis dan sedikit narsis. Sekali waktu beliau pernah harus terlambat shalat berjama'ah dimasjid hanya karena beliau asyik bersisir didepan cermin.

Tapi itu semua tinggal kenangan, paska prosesi inagurasi, beliau berubah. Bobot tubuhnya menurun drastis, dengan perawakkan kurus dan mata yang cekung. Rupa-rupanya amanah sebagai khalifah membuatnya larut dalam pergumulan dengan krisis yang membelit ummat. Kolusi, Korupsi, kemiskinan, disintegrasi, imperialisme eropa, persoalan moneter dan kebijakan fiskal dan lain-lain, adalah problem-problem ummat diantaranya.

Oleh karenanya, jika negeri ini terjerembab kejurang krisis, laa tahzan (jangan galau). Katakan dengan lantang "... Akulah Rijal-nya!!!". [pkscikbar.org]

Oleh: Rusdy Haryadi
Penulis adalah Sekretaris Fraksi PKS DPRD Kab Bekasi 

Share on :

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Indonesia Bangkit ! 2013 - Redesigned by @defio84 | Powered by Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all