Selasa, 29 April 2014

Di Tepian Makam Syuhada Uhud

Hamparan pasir. Bukit batu. Panas terik.  Dan kerumunan manusia. Panas menari di ubun-ubun. Kilaunya memantul dari pasir dan batu-batu. Sungguh siang yang sempurna.  Namun sama sekali tak menyurutkan para peziarah. Untuk mendatangi medan Uhud.  

Sebuah lanskap alami yang unik.  Jika berdiri di atas bukit Rumat,dimana dahulu Rasul SAW  menempatkan pasukan panah, maka tampak di sebelah kanan bukit Uhud yang memanjang. Terdiri hanya batu-batu. Terjal dan tajam. Di sebelah kirinya padang pasir membentang.  Sebuah tempat yang terbuka. Di sanalah pertempuran sengit terjadi. 700 Mujahid dari kalangan Muhajirin dan Anshor menantang 3000 pasukan Kafirin Mekah.


Menatap hamparan pasir itu, Seperti mendengar teriakan, ringkik kuda dan dentingan pedang yang beradu. Kepulan debu mengangkasa dan peluh bercampur darah membajiri hamparan pasir yang kerontang. Serangan terarah pasukan Muslim membuat jantung pertahanan musuh terbuka. 


Melihat celah itu, Hamzah bin Abdul Mutholib dengan sigap memimpin pasukan untuk terus maju mendobrak pertahanan lawan. Mush’ab bin Umair yang membawa panji Islam melesat ke depan. Diikuti pasukan singan jantan yang mengamuk membabat setiap hadangan senjata lawan. Gerakan tak terduga itu membuat musuh gagap dan panik. 

Sementara serangan pasukan Muslim semakin merata di setiap sektor. Akhirnya hanya satu langkah terakhir yang diambil lawan, dengan bersemangat mereka melarikan diri. Mundur kocar kacir. Meninggalkan barang bawaan mereka.


“Foto tuan, foto tuan..!”  Suara dialek Arab mengejutkanku. Tukang foto amatir menawarkan jasanya padaku. Aku mengeleng. Namun ia tak surut. Dililitkannya sorban merah di leherku. Sambil senyum Aku menggeleng sambil melepas lilitan sorban dari leleherku. Seperti kecewa ia berlalu meninggalkanku. Tak lama berselang, Seorang pengemis wanita bercadar mengusikku. Menarik-narik lengan bajuku sambil menadahkan tangannya. “Satu real, satu real..!” ujarnya agak keras.  Aku kembali menggeleng sambil tersenyum sesopan mungkin.


Bukit Rumat adalah lokasi sangat bersejarah. Banyak peziarah mengabadikan diri dengan foto-foto. Namun juga dihuni banyak pengemis. Amat miris. Sungguh, tempat bersejarah ini tak layak ‘dihiasi’  pemandangan seperti itu.  Karena di tempat ini sebuah peristiwa besar terjadi. Di sinilah, saat perang Uhud dahulu,  para pemanah berhamburan turun ke hamparan padang terbuka ketika pasukan kafirin mundur meninggalkan laga. 

Dengan barang bawaan yang bertebaran karena dilepaskan begitu saja agar tidak memberatkan kuda dan unta mereka.  Ada yang berbeda memang, hamparan padang itu kini sudah ada bangunan persegi. Mungkin luasnya setengah lapangan sepak bola. Dengan pagar tembok beton sekitar dua meter tingginya. Itulah komplek makam syuhada Uhud. Dimana sayidus syuhada, Hamzah Paman Nabi SAW dimakamkan. Bersama Mush’ab bin Umair, Abdullah bin Jahsy dan syhuhada lainnya.


Kembali lembaran memori tersingkap. Angin panas membawa ingatan akan suasana dan kejadian yang berlangsung kala itu. Pertempuran yang awalnya dikendalikan kaum muslimin, kini berubah drastis. Pasukan kafir yang dikomandoi Kholid bin Walid kini mengambil alih jalannya pertempuran. Karena kondisi bukit Rumat yang ditinggalkan pasukan pemanah dari kaum muslimin. Pasukan muslim berada dalam posisi terjepit.  Karena pasukan kafir yang mundur kini kembali dan berbalik melakukan serangan. Sementara dari arah bukit, pasukan Kholid mendesak perlahan.


Korban mulai berjatuhan satu persatu.  Para prajurit muslim gugur menjadi syahid. Mush’ab bin Umair  jatuh ke tanah. Abdullah bin Jahsyi rebah tersungkur. Dan Hamzah bin Abdul Mutholib terhuyung di tombak dari belakang. Keadaan semakin genting. Posisi Nabi terdesak ke sisi bukit.  Sungguh kondisi yang sangat kritis. Sejarah kemudian mencatat, 70 tentara Muslim menjadi syahid.  Dan dimakamkan di tempat itu.


Berdiri di tepian makam syuhada Uhud, Apa yang kau saksikan? Hamparan pasir. Cadas dan bukit batu. Tapi sebenarnya adalah hamparan kesedihan. Tak perlu berlama-lama menatap gundukan makam-makam itu. Maka kedukaan mendalam akan melingkupi sukmamu. Dan rasa kasihan membuat alasan paling sederhana untuk menumpahkan air mata. Takan tertahan. Pasti akan terbayang bagaimana Hamzah tersungkur oleh tombok Wahsyi dan dirusak jasadnya oleh Hindun binti Abi Sofyan.  Mungkin kau mendengar suara takbir meninggi setelah pasukan Muslim dihujani anak panah dan puluhan jasad tersungkur bersimbah darah.


Berdiri di tepian makam syuhada Uhud, apa yang kau rasakan?  Sebuah fantasi ruhani. Cobalah  biarkan imajinasi berlari menerobos dimensi waktu. Tidakkah terdengar suara lembut shalawat bersahutan. Antara ada dan tiada. Bersamaan dengan semilir angin terdengar samar gemercik air dan keciap merdu burung-burung berkicauan. Semerbak kesturi menyentuh saraf penciuman dengan lembutnya. Di atas sana, awan seakan merobah formasinya. 

Menggumpal-gumpal menutup sengatan panas di atas padang berpasir. Dan tengah hari yang membara itu, seakan berubah menjadi begitu teduh dan sejuk. Geremang suara percakapan seakan tak putus-putus.  Kadang terdengar begitu dekat, kadang hilang seperti menjauh. Apakah sebenarnya yang tengah berlangsung. Suara canda tawa kembali terdengar, berselingan dengan hembusan angin dan hangatnya sinar mentari. Mungkin sebuah pesta yang dipenuhi kecerian dan kegembiraan.


Berdiri di tepian makam syuhada Uhud, apa yang kau dapatkan? Sebuah pelajaran teramat mahalnya bagi diri sendiri. Bagaimana Allah menampilkan potret manusia, bahwa harta selalu membuat tarikan sangat kuatnya. Dan ujian keimanan selalu beriringan dengan ujian harta. Dalam model dan bentuk yang berbeda. 


Kini lihatlah dirimu, apa yang tengah terjadi? Bisa saja itulah yang tengah Kau hadapi kini. Sesungguhnya kau tengah memperebutkan harta, padahal musuhpun belum lagi kau kalahkan. Tapi strategi jitu sudah kau terapkan. Itulah pelajarannya, bahwa harta bisa membuatmu bahagia. Namun ia pula yang membuatmu menderita. Dan hilang lenyap nilai muliamu sebagai manusia.

Berdiri di tepian makam syuhada Uhud, sebenarnya sebuah tazkiroh untuk diri. Bahwa kita tengah berdiri , di tepian makam sendiri. [pks-subang]




Subang, 21 April 2014

fb notes Dwi Fahrial
Share on :

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Indonesia Bangkit ! 2013 - Redesigned by @defio84 | Powered by Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all