JAKARTA – Center for
Indonesian Reform (CIR) memprotes keras iklan politik terselubung yang
dilakukan pada hari tenang dan pencoblosan. Iklan terselubung tersebut
adalah iklan produk sepatu New Era.
Menurut Direktur Eksekutif CIT Sapt Waluyo, pada iklan New Era menggunakan kalimat jualan 'Pilih yang HEBAT', padahal pada iklan aslinya kalimat jualannya adalah 'Terbukti yang Terbaik'.
Iklan sepatu "Pilih New Era HEBAT" berasosiasi dengan slogan PDIP "Indonesia HEBAT" . Apalagi jika diamati dengan seksama jenis huruf. Font, dan warna hurufnya sama, identik.
Ditambah dengan suara berulang-ulang memberi sugesti. Iklan tersebut
bukan hendak menjual sepatu, namun memasarkan pesan politik dengan cara
canggih dan persuasif.
“Komisi Penyiaran Indonesia dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
harus mengusut, karena iklan tersebut telah melanggar hak publik untuk
mendapat info yang benar dan obyektif," jelas Sapto.
Sementara itu pengamat politik dari Universitas Indonesia, Dr. Yon
Mahmudi, melihat gejala negatif yang akan merusak iklim kebebasan bagi
pemilih.
"Sebenarnya kalau produsen sepatu itu punya kecenderungan politik
silakan saja, tapi disalurkan dengan cara yang benar. Misal jadi donatur
dan diumumkan secara tetbuka. Jika itu perusahaan terbuka, maka
pemegang saham bisa bertanya: apa motifnya? Tapi, karena iklan
terselubung maka bisa mengecoh pemirsa," ungkap Yon, dosen Fakultas Ilmu
Budaya (FIB) UI.
Menurut Yon, bukan cuma KPI dan YLKI yang harus mengusut, tapi KPU
dan Bawaslu juga harus bertindak, karena iklan itu diluncurkan di masa
tenang dan pencoblosan yang sangat sensitif.
"Jika terbukti partai tertentu mendapat keuntungan dari iklan politik
terselubung, maka capaian suaranya cacat prosedural dan moral. Namun,
harus kita akui posisi Bawaslu amat lemah dalam mengawasi pelanggaran
parpol. Hanya berani dengan partai menengah dan kecil. KPI dan Dewan
Pers juga tak bergigi menghadapi kampanye media besar yang pemodalnya
dikuasai kaum politisi," papar Yon.
Karena itu, Yon mendesak regulasi yang lebih keras/ketat dalam
pengaturan kampanye dan pembiayaan partai politik. Semua pihak yang
melanggar harus dihukum setimpal.
Analis CIR juga menemukan media nasional sekelas koran Kompas saja dapat terjebak pemihakan politik. Pada liputan tanggal 3 April 2014 (halaman 4), Kompas menyajikan berita panas "Menggoyang PDIP di Jawa Tengah".
Anehnya, dalam infografis disebut nama partai secara berurut: Nasdem,
PKB, PDIP, PKS, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, Hanura, PBB, dan
PKPI.
Infografis Kompas melakukan kekeliruan fatal karena partai nomor urut
3 mestinya adalah PKS, sedang PDIP nomor 4. Mengapa itu bisa terjadi?
"Redaksi Kompas harus menjelaskannya. Namun, dalam mitologi China
memang diyakini angka 4 berarti kematian/stagnansi. Karena itu, mungkin
pendukung PDIP tak begitu suka dapat nomor 4. Tapi, kesalahan Kompas
bisa membawa berkah bagi PKS, karena pendukung PDIP bisa mencoblos nomor
3," sahut Sapto.
Suasana di masa kampanye jelas membuat banyak pihak panik, termasuk
para sponsor politik dan pemilik media massa. Untuk itu, sikap cerdas
para Pemilih diperlukan, agar tidak memilih partai yang curang atau
membeli produk komersial yang diam-diam berpolitik. *
0 komentar:
Posting Komentar