Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi
satu-satunya lembaga penegak hukum yang memiliki surplus dukungan
dibanding lembaga serupa. Ini pun ditunjukkan dengan berbagai riset
publik, KPK nomor wahid. Namun, ada pertanyaan yang mungkin cenderung
naif, yakin Anda masih percaya KPK?
Riset publik yang
menempatkan KPK sebagai lembaga nomor wahid pijakannya adalah persepsi.
Ini dibangun dengan basis asumsi oleh subyek yang menilai atas obyek
yang dinilai. Begitu cara kerja persepsi terbentuk. Begitu pula persepsi
terhadap lembaga KPK. Riset yang berbasis persepsi ini tak mementingkan
unsur kualitatif.
Padahal, penilaian secara kualitatif penting
dilakukan. Apalagi lembaga negara seperti KPK yang kerjanya berbasis
undang-undang, mutlak dilakukan penilaian secara kredibel. Itu pula yang
didesak kalangan DPR yang meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk
melakukan audit kinerja terhadap KPK. Ini sesuai dengan amanat UU No 15
Tahun 2006 Pasal 6 ayat (3). BPK mendapat tugas pemeriksaan terhadap
kinerja suatu lembaga.
Bukan bagian dari audit, namun serangkaian
kronologi peristiwa dalam pengungkapan kasus Hambalang yang menampilkan
aktor KPK, belakangan patut menjadi bahan telaah bersama. Ini terkait
hiruk pikuk Anas Urbaningrum yang telah ditetapkan sebagai tersangka
oleh KPK 22 Februari 2013 lalu.
Dimulai dari dakwaan KPK atas Dedy
Kusdinar yang dibacakan Jaksa KPK I Kadek Wiradana Kamis (7/11/2013)
lalu. KPK menyebutkan Anas menerima aliran dana Hambalang sebesar Rp2,21
miliar. Uang tersebut dimaksudkan untuk pemenangan Kongres Partai
Demokrat Mei 2010.
Secara runtut, disebutkan uang pertama kali
diserahkan pada 19 April 2010 sebesar Rp500 juta, kemudian pada 19 Mei
2010 sebesar Rp500 juta, 1 Juni 2010 sebesar Rp500 juta, 18 Juni 2010
sebesar Rp500 juta, dan terakhir 6 Desember 2010 sebesar Rp10 juta.
Menariknya,
jika ditotal seluruh dana tersebut tidak mencapai Rp2,21 miliar
sebagaimana yang disebut Jaksa KPK. Namun jumlahnya hanya Rp 2,01 miiar.
Artinya selisih Rp200 juta 'raib'.
Melalui Juru Bicara KPK Johan
Budi mengklarifikasi ke Jaksa KPK ihwal raibnya angka Rp200 juta
tersebut. "Bahwa di hal 70 ada kalimat yang hilang dan harus
ditambahkan. Ini sudah disampaikan ke hakim," kata Johan, Jakarta, Jumat
(8/11/2013).
Johan menambahkan, ada dua hal yang perlu dicatat
terkait dakwaan tersebut. "Pertama soal angka dan huruf yang tidak sama
dan jumlah. Harusnya ada kata-kata 'di antaranya' 'rinciannya'. Totalnya
menurut pengakuan (jaksa) itu Rp2,21 miliar. Jadi kurang yang 200 juta
itu, bukan jumlahnya menjadi berkurang," terang Johan.
Namun Johan
tidak tahu pasti alasan tidak tercantumnya uang Rp200 juta yang menjadi
bagian Rp2,2 miliar untuk Anas tersebut. "Mungkin gak diketahui
tanggalnya sehingga tidak dimasukkan dalam rincian," kata Johan menduga.
Alasan
KPK memang cenderung naif. KPK yang selama ini dikenal kerja yang
hati-hati yang menekankan akurasi seperti abai urusan yang sangat
penting terkait dakwaan terhadap tersangka. Jelas, ini bukan perkara
biasa saja.
Perkara lainnya yang baru muncul ihwal penyitaan uang
sebesar Rp1 miliar. Klaim KPK, duit itu milik Anas Urbaningrum, karena
berada di kamar pribadi Anas dan di kediaman Anas. "Uang Rp1 miliar
ditemukan dalam tas di lemari. Ini terletak di lantai 2 di kamar
pribadi, di rumah pribadi, di rumah yang berada di Jl Selat Makasar
Perkav AL, SHM 6251," kata Johan.
Namun, klaim Johan dibantah
pengurus PPI Tri Dianto. Menurut Tri Dianto, uang itu merupakan kas PPI
yang berasal dari dana patungan pengurus PPU. "Harus diketahui KPK,
sejak tanggal 15 September 2013, rumah Anas sudah diwakafkan untuk ormas
PPI. Anas sudah tidak pernah di rumah ini. Jadi apa yang dilakukan KPK
salah alamat. Uang Rp1 miliar di Rumah Pergerakan, kantor Ormas PPI,"
sebut Tri Dianto.
Belum lagi sikap penyidik KPK yang 'tebang
pilih' dalam penyitaan dokumen di Rumah Pergerakan PPI. KPK nyatanya
tidak mengambil buku yang bergambar Ibas Yudhoyono. Namun justru
mengambil buku bergambar Anas. Padahal, niat awal KPK ke PPI untuk
menelusuri jejak Mahfud Suroso di Athiyyah Laila. Tudingan diskriminatif
pun meluncur dari kubu Anas.
Menguliti kerja KPK dalam penuntasan
kasus korupsi tampaknya akan semakin menguak sisi lain lembaga super
body itu. Gugatan atas raibnya Bu Pur di dakwaan KPK atas terdakwa Dedy
Kusdinar, serta mendiamkan aktor yang disebut dalam persidangan seperti
Sengman Tjahja dan Bunda Putri dalam kasus suap impor daging sapi, akan
semakin memunculkan kecurigaan dan pertanyaan publik apakah lembaga ini
sudah independen. Anda masih percaya KPK? [inilah]
0 komentar:
Posting Komentar