Senin, 28 Oktober 2013

Sumpah Pemuda Selera Kini


Menarik ketika membaca ulang sejarah Sumpah Pemuda. Salah satunya tatkala membaca hasil kajian kajian Kepala Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr Phil Ichwan Azhari.  Bahwa Sumpah Pemuda yang diperingati setiap tahun oleh bangsa ini ternyata tak didukung dokumen dan bukti sejarah otentik. 

Menurutnya, berdasarkan data yang ada, tidak pernah ada satu baris pun ditulis kata Sumpah Pemuda, dan para pemuda juga tidak sedang melakukan sumpah saat itu.  Yang ada hanyalah keputusan rapat pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, dengan istilah yang dipakai saat itu ? Poetoesan Congres?.  Berdasarkan catatan dan dokumen sejarah pula diketahui Sumpah Pemuda pada dasarnya merupakan suatu hasil rekontruksi dari para pendahulu bangsa yang dimotivasi keperluan dari generasi yang berbeda, yang sengaja dibentuk kemudian setelah sekian lama peristiwa tersebut berlalu, yaitu adanya pembelokan kata "Poetoesan Congres" menjadi kata "Sumpah Pemuda".  

Adapun momennya pada tanggal 28 Oktober 1954, saat Presiden Soekarno dan Muhammad Yamin (sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) membuka Kongres Bahasa Indonesia yang kedua di Medan.  Pada saat itu, Soekarno dan Yamin ditantang untuk membangun simbol yang menyusun tembok ideologi bangsa dan negara.  Langkah tersebut, bila kita membaca sekilas dan lepas dari konteks situasi, barangkali akan disebut sebagai manipulasi sejarah.  Namun dibalik tindakan tersebut, inisiatif Presiden Soekarno dan sejumlah tokoh bangsa sebenarnya merupakan salah satu cara yang dianggap paling efektif saat itu.   

Terutama guna membentuk kesadaran nasional atas kemerdekaan bangsa ini sekaligus memberi peringatan keras kepada gerakan separatis yang mulai muncul menentang keutuhan Bangsa Indonesia.  Sederhananya, pembelokan kata "Poetoesan Congres" menjadi kata "Sumpah Pemuda" dipakai sebagai senjata ideologi tandingan.  Dengan begitu, apakah fakta tersebut merubah cara pandang terhadap peringatan Sumpah Pemuda? itu tak perlu terjadi, dan tak semestinya pula melahirkan kontroversi baru dalam pembelajaran sejarah nasional.   

Pelajaran terpenting yang diresapi adalah bahwa, jika para pendahulu kita punya memakai cara pandangnya sendiri atas momen 28 Oktober 1928 bagi kemaslahatan bangsa ini, maka kita pun harus menempuh cara yang sama untuk menyikapi tantangan saat ini dan yang akan datang.  Segregasi Situasi dan kondisi kita dalam berbangsa telah banyak berubah. Konfigurasi ini turut mempengaruhi cara berpikir dan bersikap setiap individu dan entitas bangsa ini. seiring dengan itu, kita perlu membenahi pendekatan dalam penyelenggaraan kehidupan.  

Bila dulu bangsa kita harus berhadap-hadapan dengan situasi penjajahan dan desegregasi dengan pola sentralistis, maka sekarang sangat banyak perbedaan.  Berawal dari kerangka berpikir ini, maka mengonversi semangat yang membuncah dalam ?Poetoesan Congres? 28 Oktober 1928 ke dalam bentuk yang sesuai dengan kehendak zaman yang sedang dan dihadapi bangsa ini tak ada salahnya ditempuh.  Sebagaimana cara yang sama dilakukan oleh para pendahulu bangsa. 

Semua demi kemaslahatan bangsa.  Upaya ini barangkali bisa menemukan missing link Sumpah Pemuda dengan kegersangan narasi pemersatu yang dapat kita rasakan sekarang.  Dengan menguatnya etnosentris dan primordialisme, setiap kelompok saling menjatuhkan karena kepentingan kelompoknya serta sosok kepemimpinan level nasional yang berserak dan asyik aksi dongkrak popularitas.  Ancaman nyata ini benar-benar perlu pendekatan ideologis. Dan, pemaknaan ulang momen kongres pemuda 28 Oktober 1928 dianggap perlu.  

Bukan untuk keperluan mengutak-atik sejarah, namun mengambil esensi yang diperlukan dengan keperluan bangsa saat ini dan ke depan.  Di antaranya dengan meluweskan pemaknaan nasionalisme dan kebangsaan, yang tak semata terikat pada batasan geografis.  Sehingga, menyitir perkataan Soekarno, Indonesia tak sekadar le desir d'etre ensemble kehendak bersatu dan yang merasa dirinya bersatu dan terikat dalam wilayah geopolitik Indonesia, namun yang lebih penting merasakan le desir d'etre ensemble Indonesia.  Jadi di manapun kita berada dengan profesi dan eksistensi kita; para pemuda yang mengeskpresikan diri di berbagai pentas, berkontribusi dengan apa yang dimiliki dan dalam keterbatasannya serta bangga dengan keindonesiaanya.   

Tidak larut dalam perbedaan dan membuka diri dan dapat bekerja dengan perbedaan. Inilah ekspresi keindonesiaan.  Memang, setakad ini kita sebagai bangsa masih tertatih-tatih. Kehendak dan keinginan sekarang terdistribusi secara luas dan tak lagi dikendalikan secara terpusat. Otonomi Daerah adalah media yang tepat untuk menggambarkan keperluan zaman yang berbeda ini.  Ditambah akses informasi yang lepas, semua ini menambah pelik dan rumitnya menyatukan perbedaan yang ada.  Ada benarnya apa yang ditulis oleh Max Lane (2007) dalam bukunya Indonesia: Bangsa yang Belum Selesai.   

Bahwa Indonesia sebagai bangsa masih harus menempuh jalan berliku-liku untuk mencapai capaian idealnya.  Adapun jalan berliku yang dimaksud penulis mengarahkan kepada politik identitas dalam format identitas suku, identitas daerah dan identitas agama, yang menurutnya sangat rapuh dan mudah menguat.  Meski begitu, sudut pandang penulis di atas tak seratus persen benar. Secara keseluruhan, sejarah bangsa kita telah memaparkan bahwa kebhinekaan kita sebagai bangsa bukanlah lahir dari inisiatif pemimpin semata apatah lagi program politik.  Akan tetapi lebih didorong kehendak arus bawah. Sumpah Pemuda salah satu wujudnya.***  



Indra Isnaini  
Anggota DPRD Provinsi Riau Fraksi PKS


Share on :

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Indonesia Bangkit ! 2013 - Redesigned by @defio84 | Powered by Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all