Menarik ketika membaca ulang sejarah Sumpah Pemuda. Salah satunya tatkala
membaca hasil kajian kajian Kepala Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
(Pussis) Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr Phil Ichwan Azhari. Bahwa Sumpah Pemuda yang diperingati setiap tahun
oleh bangsa ini ternyata tak didukung dokumen dan bukti sejarah otentik.
Menurutnya, berdasarkan data yang ada, tidak
pernah ada satu baris pun ditulis kata Sumpah Pemuda, dan para pemuda juga
tidak sedang melakukan sumpah saat itu.
Yang ada hanyalah keputusan rapat pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928,
dengan istilah yang dipakai saat itu ? Poetoesan Congres?. Berdasarkan catatan dan dokumen sejarah pula
diketahui Sumpah Pemuda pada dasarnya merupakan suatu hasil rekontruksi dari
para pendahulu bangsa yang dimotivasi keperluan dari generasi yang berbeda,
yang sengaja dibentuk kemudian setelah sekian lama peristiwa tersebut berlalu,
yaitu adanya pembelokan kata "Poetoesan Congres" menjadi kata
"Sumpah Pemuda".
Adapun
momennya pada tanggal 28 Oktober 1954, saat Presiden Soekarno dan Muhammad
Yamin (sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) membuka Kongres Bahasa
Indonesia yang kedua di Medan. Pada saat
itu, Soekarno dan Yamin ditantang untuk membangun simbol yang menyusun tembok
ideologi bangsa dan negara. Langkah
tersebut, bila kita membaca sekilas dan lepas dari konteks situasi, barangkali
akan disebut sebagai manipulasi sejarah.
Namun dibalik tindakan tersebut, inisiatif Presiden Soekarno dan
sejumlah tokoh bangsa sebenarnya merupakan salah satu cara yang dianggap paling
efektif saat itu.
Terutama guna
membentuk kesadaran nasional atas kemerdekaan bangsa ini sekaligus memberi
peringatan keras kepada gerakan separatis yang mulai muncul menentang keutuhan
Bangsa Indonesia. Sederhananya,
pembelokan kata "Poetoesan Congres" menjadi kata "Sumpah
Pemuda" dipakai sebagai senjata ideologi tandingan. Dengan begitu, apakah fakta tersebut merubah
cara pandang terhadap peringatan Sumpah Pemuda? itu tak perlu terjadi, dan tak
semestinya pula melahirkan kontroversi baru dalam pembelajaran sejarah nasional.
Pelajaran terpenting yang diresapi adalah
bahwa, jika para pendahulu kita punya memakai cara pandangnya sendiri atas
momen 28 Oktober 1928 bagi kemaslahatan bangsa ini, maka kita pun harus
menempuh cara yang sama untuk menyikapi tantangan saat ini dan yang akan
datang. Segregasi Situasi dan kondisi
kita dalam berbangsa telah banyak berubah. Konfigurasi ini turut mempengaruhi
cara berpikir dan bersikap setiap individu dan entitas bangsa ini. seiring
dengan itu, kita perlu membenahi pendekatan dalam penyelenggaraan
kehidupan.
Bila dulu bangsa kita harus
berhadap-hadapan dengan situasi penjajahan dan desegregasi dengan pola
sentralistis, maka sekarang sangat banyak perbedaan. Berawal dari kerangka berpikir ini, maka
mengonversi semangat yang membuncah dalam ?Poetoesan Congres? 28 Oktober 1928
ke dalam bentuk yang sesuai dengan kehendak zaman yang sedang dan dihadapi
bangsa ini tak ada salahnya ditempuh.
Sebagaimana cara yang sama dilakukan oleh para pendahulu bangsa.
Semua
demi kemaslahatan bangsa. Upaya ini
barangkali bisa menemukan missing link Sumpah Pemuda dengan kegersangan narasi
pemersatu yang dapat kita rasakan sekarang.
Dengan menguatnya etnosentris dan primordialisme, setiap kelompok saling
menjatuhkan karena kepentingan kelompoknya serta sosok kepemimpinan level
nasional yang berserak dan asyik aksi dongkrak popularitas. Ancaman nyata ini benar-benar perlu
pendekatan ideologis. Dan, pemaknaan ulang momen kongres pemuda 28 Oktober 1928
dianggap perlu.
Bukan untuk keperluan
mengutak-atik sejarah, namun mengambil esensi yang diperlukan dengan keperluan
bangsa saat ini dan ke depan. Di
antaranya dengan meluweskan pemaknaan nasionalisme dan kebangsaan, yang tak
semata terikat pada batasan geografis.
Sehingga, menyitir perkataan Soekarno, Indonesia tak sekadar le desir
d'etre ensemble kehendak bersatu dan yang merasa dirinya bersatu dan terikat
dalam wilayah geopolitik Indonesia, namun yang lebih penting merasakan le desir
d'etre ensemble Indonesia. Jadi di
manapun kita berada dengan profesi dan eksistensi kita; para pemuda yang
mengeskpresikan diri di berbagai pentas, berkontribusi dengan apa yang dimiliki
dan dalam keterbatasannya serta bangga dengan keindonesiaanya.
Tidak larut dalam perbedaan dan membuka diri
dan dapat bekerja dengan perbedaan. Inilah ekspresi keindonesiaan. Memang, setakad ini kita sebagai bangsa masih
tertatih-tatih. Kehendak dan keinginan sekarang terdistribusi secara luas dan
tak lagi dikendalikan secara terpusat. Otonomi Daerah adalah media yang tepat
untuk menggambarkan keperluan zaman yang berbeda ini. Ditambah akses informasi yang lepas, semua
ini menambah pelik dan rumitnya menyatukan perbedaan yang ada. Ada benarnya apa yang ditulis oleh Max Lane
(2007) dalam bukunya Indonesia: Bangsa yang Belum Selesai.
Bahwa Indonesia sebagai bangsa masih harus
menempuh jalan berliku-liku untuk mencapai capaian idealnya. Adapun jalan berliku yang dimaksud penulis
mengarahkan kepada politik identitas dalam format identitas suku, identitas
daerah dan identitas agama, yang menurutnya sangat rapuh dan mudah
menguat. Meski begitu, sudut pandang
penulis di atas tak seratus persen benar. Secara keseluruhan, sejarah bangsa
kita telah memaparkan bahwa kebhinekaan kita sebagai bangsa bukanlah lahir dari
inisiatif pemimpin semata apatah lagi program politik. Akan tetapi lebih didorong kehendak arus
bawah. Sumpah Pemuda salah satu wujudnya.***
Indra Isnaini Anggota DPRD Provinsi Riau Fraksi PKS |
0 komentar:
Posting Komentar