Tulisan
ini dibuat sebagai salah satu bentuk edukasi
pada masyarakat umum, khususnya yang memiliki kepedulian lebih terhadap anak
anak mengenai pedofilia, hal ini terkait dengan ramainya pemberitaan akhir
akhir terkait dengan kasus pelecehan seksual di JIS dan kasus ‘emon’ di
Sukabumi.
Pedofilia
merupakan salah salah satu bentuk gangguan kejiwaan yang masuk dalam kelompok
Gangguan Parafilia. Parafilia merupakan gangguan dalam pemenuhan dorongan
seksual yang ditujukan pada Objek atau subjek yang tidak lazim dan dalam proses
pemenuhan dorongan tersebut menimbulkan tekanan psikologis, pemaksaan dan
ancaman kematian bagi korban.
Diagnostice
and statiscal manual of mental disorder Edisi ke V atau disingkat dengan
DSMS V (panduan penggolongan berbagai macam gangguan kejiwaan yang digunakan
oleh psikiater, psikolog dan sosial worker lainnya ), menyatakan ada beberapa kelompok
gangguan parafilia adalah gangguan voyeurism (mengintai aktivitas orang lain yang
sifatnya pribadi ), exhibisionosme (memamerkan organ genital), frotteuristik
(menggosokkan tubuh ke orang lain yang tidak dikenal), gangguan seksual masokis
(menikmati penganiayaan yang dilakukan pasangannya ) gangguan seksual sadime
(mendapatkan kepuasan seksual dengan
melakukan penyiksaan/memperlakukan pasangan seperti budak), gangguan fetistik
(mendapatkan kepuasan seksual dengan menggosokkan benda-benda ke tubuh) dan
gangguan pedofilia - pemenuhan dorongan seksual yang difokuskan pada anak anak,
minimal anak berusia 5 tahun lebih muda dari pelaku (dimana usia pelaku minimal
16 tahun).
Masih
dari sumber yang sama (DSM V) Prevalensi kejadian sekitar 3-5 % pada pria dan prevalensi
pelaku pedofil pada wanita ada tapi jumlahnya tidak terdata. Di Indonesia sendiri,
hingga saat ini belum ada data pasti terkait dengan jumlah pelaku Pedofil.
Salah satu ciri yang ditemukan pelaku adalah ketertarikan pada anak-anak sejak
pelaku berusia remaja.
American psychiatric
association psychiatric dalam laporannya yang terdapat dalam DSM V
mengungkapkan Pedofil merupakan lifelong
condition - artinya kondisi yang melekat seumur hidup, hal ini memberi
indikasi sulitnya gangguan ini disembuhkan. Predisposisi kepribadian antisocial (ditandai dengan kecendrungan
perlaku untuk melanggar norma atau aturan yang berlaku) juga dimiliki oleh sebagian pelaku.
Dilihat dari riwayat
hidup pelaku juga didukung oleh literature yang ada menerangkan jika Pelaku
Pedofilia pernah menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan orang dewasa
ketika mereka masih kecil. Jika tidak mendapatkan penanganan serius, Ini
merupakan siklus yang terus menerus, korban yang tidak mendapatkan penanganan
lebih rentan menjadi Pelaku di kemudian hari.
Proses
pemulihan kondisi Psikologis untuk korban memerlukan koordinasi antar beberapa
profesi seperti Dokter Anak, Psikiater, Psikolog. Masing masing profesi
memiliki peran yang saling mendukung satu sama lain.
Penanganan
bagi korban pedofilia dari sisi Psikologi
sendiri cukup kompleks melibatkan penanganan yang terfokus pada anak
yangdapat dilakukan dengan berbagai tehnik, misalnya : trauma-focused
cognitive-behavioral therapy (cbt), trauma-focused integrative-eclectic therapy
(iet),trauma-focused play therapy dan sebagainya. Dalam bentuk yang berbeda, orang tua juga
mengalami trauma atas peristiwa yang dialami anak mereka, karena itu mereka
juga perlu mendapatkan penanganan Psikologis.
Hal terbaik yang dapat dilakukan
semua pihak adalah melakukan tindakan preventif,
pencegahan kekerasan seksual pada anak
lewat program edukasi yang ditujukan pada anak, orang tua dan sekolah. Salah
satu bentuk program preventif bagi
anak dapat berupa pengenalan lingkungan yang aman dan tidak mengancam bagi anak,
melatih anak untuk mengenali sinyal
bahaya yang mungkin muncul dari situasi pelecehan seksual dan bagaimana mereka
menanggapi situasi ini.
0 komentar:
Posting Komentar