Suatu sore di hulu sebuah sungai yang
mulai mengering, sekumpulan bangau tengah menghadapi sebuah masalah
yang teramat pelik untuk mereka pecahkan. Perjalanan yang harus mereka
tempuh kali ini untuk mempertahankan hidup kelompok mereka justru
menjadi biang permasalahan itu sendiri.
Betapa tidak, Sang Pemimpin Bangau memutuskan kepada seluruh anggota
kelompoknya untuk menempuh perjalanan melalui jalan darat. Tidak dengan
mengepakan sayap. Terbang melintasi daerah demi daerah seperti yang
selama ini mereka lakukan.
Tentu saja hal ini sangat mengecewakan sebagian anggota bangau yang
turut dalam rombongan tersebut. Siapapun tahu, bangsa bangau adalah
penerbang yang ulung. Bangsa burung yang senantiasa mempertahankan
eksistensinya dengan berpindah-pindah dalam kebersamaan kelompok yang
tangguh dan saling melindungi.
Bangsa bangau adalah koloni yang terkenal dengan sosok pemimpinnya yang
tidak diragukan lagi kapabilitasnya oleh seluruh makhluk. Namun kali
ini, sebagian dari kelompok bangau mulai mempertanyakan kemantapan hati
pemimpin mereka untuk mempertahankan keunikan yang selama ini mengundang
decak kagum seisi bumi.
“Ketua, tidakkah engkau salah memutuskan?” seekor bangau mengajukan pertanyaannya mewakili sebagian yang lain.
“Saudaraku, ini keputusan yang harus kita jalani”
“Sejak kapan kita bermigrasi dengan berjalan kaki, Ketua?”
“Ini pilihan. Lihatlah diatas sana, langit gelap. Sebentar lagi badai
akan datang. Kita tak mungkin terbang melawan alam yang teramat kuat,
Saudaraku”
“Apa kata orang nanti, Ketua. Maukah engkau ditertawakan? Mereka akan
berkata: “lihatlah, bangau sekarang berjalan kaki demi segenggam
makanan” Aha, bukankah ini sangat memalukan, Ketua?”
Sang Pemimpin menatap dalam anggotanya yang melakukan protes. Sementara
bangau-bangau lain mulai riuh mengeluarkan suara mereka yang terpecah.
Sebagian tetap mematuhi keputusan Sang Pemimpin, sementara sebagian yang
lain memiliki pendapat yang sama dengan seekor bangau yang melakukan
protes.
“Dengarlah, Saudaraku. Berjalan kaki bukanlah suatu kehinaan atau suatu
dosa bagi kita. Bukankah akal dan seluruh daya ini anugerah Sang
Pencipta yang harus kita gunakan demi menjaga hakikat kelangsungan
kelompok kita? Dan, terbang juga bukanlah satu-satunya cara untuk meraih
tujuan….”
“Apakah engkau akan berbangga dengan ini, Ketua? Huh, bukankah ini
kesengajaanmu saja? Ini akal-akalanmu saja supaya engkau memimpin
rombongan ini dengan berjalan didepan, dan orang lain akan memandangmu
dengan penuh takjub sebagai seorang pemimpin yang mulia…memalukan
sekali, Ketua!”
“Saudaraku, ketahuilah. Kita tak mungkin berdiam diri di sini sementara
musim terus berganti dan sungai ini akan mengalami kekeringan. Kita juga
tak mungkin terbang karena angin kencang akan menghadang. Sadarlah,
pejalanan ini harus dilanjutkan. Menempuh perjalanan darat hanyalah cara
kita untuk tetap berjalan dengan tidak menimbulkan korban di antara
kita” Sang Pemimpin tetap menjawab dengan bijak di tengah tekanan yang
terus membesar dari anggota kelompoknya.
“Baiklah, Ketua. Kalau begitu kami akan menempuh perjalanan sendiri, dan kami menyatakan diri keluar dari kelompok ini”. “Itu pilihan, Saudaraku. Siapa saja boleh memilih, meski sebenarnya
perpecahan bukanlah jalan terbaik dalam setiap perjuangan. Masih bisa
kita pikirkan bersama sebenarnya….”
“Sudahlah, Ketua. Aku akan berangkat bersama anggota lain yang sependapat denganku”
Tak menunggu lama, Sang Bangau yang melakukan protespun terbang diikuti
beberapa bangau yang memiliki persamaan pemikiran dengannya. Sementara
Sang Pemimpin tengadah melepas kepergian anggotanya dengan berat hati.
Tergambar jelas dalam bayangannya resiko yang harus dihadapi mereka yang
memutuskan diri untuk berpisah dari kelompok.
“Aku do’akan kalian selamat sampai tujuan, dan kita bersua kembali
nanti” Sang Pemimpin sekuat tenaga menata hatinya yang diliput
kesedihan.
Angin bergemuruh semakin kencang, halilintar bertalu menghias angkasa
yang menghitam. Tepat di atas hilir sungai, kelompok bangau yang terbang
mulai merasakan beban yang teramat berat. Sayap-sayap mereka tak lagi
bisa dikuasai dengan sempurna. Demikian juga dengan pandangan yang
mereka yang mulai kabur karena hujan yang tercurah.
Perlahan namun pasti, penyesalan mulai merayap, menjalar dalam relung
hati mereka. Kengerian menyergap, membuka segenap kesadaran yang
sebelumnya terkunci. Kesadaran akan pentingnya mematuhi keputusan Sang
Pemimpin mulai menyengat keangkuhan yang membutakan hati mereka. Namun
sayang, belum sempat mereka berfikir panjang untuk segala keputusan yang
telah diambil, badai telah mengganas. Tubuh-tubuh mereka terhempas
dengan keras, menukik tanpa terkendali.
Sementara di bawah sana , dari sudut mata yang mulai mengabur, para
bangau menangkap sosok buaya yang tengah bercengkrama dengan bangga,
seolah mereka tahu, Tuhan telah menyediakan hidangan lezat dari atas
sana.[pksnongsa]
Oleh: Eko Wahyudi
Follow @ewahyudie on Twitter
______
http://www.ewamazing.com/2014/04/perdebatan-bangau.html?m=1
0 komentar:
Posting Komentar