Kebetulan saya kerja di Group media tergede juga, tetapi saya di divisi IT-nya. Ya memang sih praktek-praktek running berita kerap dilakukan oleh beberapa oknum kuli tinta. Kalo boleh objektif sih, secara pendapatan mereka kecil, untuk ukuran pendapatan di Jakarta relatif seperti sekedar mampir di rekening. Tetapi praktek2 jual beli berita juga bukan solusi pembenaran atas kondisi diatas.
1. Yang sering dilakukan adalah jika dia
sendirian atau kelompok dia menghajar fenomena-fenomena yang terjadi. Mereka
running berita sampai habis, kalo begini biasanya tidak ada deal dengan pihak
yang di running, tetapi jika berita sampai hilang diperedaran (apalagi di
google ilang juga) itu berarti ada aliran dana yang mampir ke rekening. Gaya
hidup mereka sih cenderung hedonis gan, bukannya syirik sih, tp untuk ukuran gaji
mereka rasanya jauh dari kata mencukupi. Mereka biasanya udah ada backup
masing-masing dan sengaja dipelihara oleh masing-masing yang membackup.
2. Yang kedua adalah kelasnya perusahaan /
media yang bersangkutan. Kalo ini perintah langsung dari atasan mereka
masing-masing gan. Ini hubungannya dengan pendapatan perusahaan itu sendiri.
Mereka biasanya menghajar untuk mendatangkan iklan, selama mereka gak mau ngiklan
di media tersebut mereka gak akan berhenti untuk memberitakan hal2 miring ttg
iklan tersebut. Sampai pengiklan menyatakan ampun-ampun barulah mereka berhenti
untuk menghajarnya,
Miris? ah itulah yang terjadi selama ini. sering juga menanyakan hal ini ke atasan saya, tetapi bukannya saling mendukung tapi jawabannya bikin terdiam seribu bahasa. "udah jangan urusin hal-hal yang gak guna seperti itu, mending kerja bener aja".
Pengen tau independensi mereka, tanyakan rekening aliran dana-nya. Mereka mudah sekali men-setting berita agar menjadi headline sampai berminggu-minggu sampai alam bawah sadar pembaca terpengaruhi. [kaskus]
Oleh : kaskuser segoPunel
0 komentar:
Posting Komentar