Berita mengenai penyadapan Amerika Serikat (AS)
terhadap beberapa negara di dunia memang sungguh menggemparkan. Soal spionase,
mari kita lupakan kasus Edward Snowden sejenak dan beralih ke topik yang cukup
teknikal.
Baru-baru ini sebuah mesin spionase terbaru
ditampilkan ke publik Amerika untuk pertama kalinya dalam pameran Association
of the United States Army Expo di Washington D.C. Militer Amerika Serikat memang
baru-baru ini meminta bantuan kepada Prox Dynamics, sebuah perusahaan Norwegia
yang bergerak di jasa perlengkapan spionase militer untuk merancang salah satu
mesin spionase super mini yang pernah ada.
Mini drone bernama PD-100 Black Hornet Personal
Reconnaissance System tersebut adalah alat spionase militer. Beratnya hanya 16
gram dan bentuknya terlihat
seperti helicopter mainan mini. Sengaja dibuat kecil dan praktis supaya mudah
dibawa seorang tentara ke medan pertempuran.
Sejak tahun lalu, sebenarnya para tentara Inggris yang
bertugas di Afganistan telah menggunakan Black Hornet dalam berbagai misi –
mulai dari mengintai rute serangan mendadak musuh hingga mengintip dibalik
tembok.
“Kami menggunakan (Black Hornet) untuk mengecek posisi
penembak dan mengecek tempat terbuka. Sungguh ini aset yang berguna,” ucap
Sergeant Christopher Petherbridge dari Brigade Reconnaissance Force Inggris,
kepada Associated Press.
Namun tidak semua tentara dapat bermain-main dengan
helicopter mini tersebut. Seperti dilansir LiveScience.com, Ole Aguirre,
Wakil Presiden Pemasaran dan Penjualan untuk Prox Dynamic AS mengatakan bahwa
drone tak berawak ini diciptakan untuk unit khusus yang membutuhkan “mata-mata
di langit, tak terdeteksi, cepat dan taktikal.”
Menurut keterangan tentara yang bekerja dengan Black
Hornet, drone ini dikabarkan tak bersuara dan tak terdeteksi di ketinggian 10
meter. Menteri Pertahanan Inggris menyampaikan kepuasan dari Brigade
Reconnaissance Force karena drone tersebut “sangat mudah untuk dioperasikan
serta menawarkan banyak kapabilitas menarik di medan pertempuran.”
Satu set PD-100 yang dibawa seorang tentara berisi dua
buah Black Hornet, stasiun mini untuk isi ulang baterai, remote control dan mobile
device (dengan layar kaca 7 inchi) untuk memantau apa yang direkam
Black Hornet. Semua perlengkapanya waterproof dan memiliki berat total 1.3 kg.
Untuk menjalankannya, cukup masukkan koordinat GPS dan
drone otomatis akan pergi ke tempat tujuan. Sesampainya disana, kamera mengirim
video dan gambar kembali pada pengguna. Adapun Black Hornet dapat terbang
selama 20 -25 menit sebelum membutuhkan isi ulang baterai. Daya jelajahnya
hanya terbatas sejauh 1,2 km sekali beroperasi.
Black Hornet ternyata masih memiliki kekurangan. Drone
ini rupanya terlalu kecil untuk membawa mid-wave infrared camera (MWIR)
sehingga pengintaian malam hari tak dapat dilakukan. “Sensor MWIR terkecil yang
tersedia di pasaran sekarang adalah FLIR Quark, dan beratnya dua kali dari
berat helicopter kami,” tutur Aguirre.
Menurut situs Flightglobal, militer Inggris sendiri
telah memiliki 324 Black Hornets dalam kekuatan militernya. Namun teknologi
muktahir seperti ini tidak datang dengan harga murah. Situs Geek.com melansir
bahwa melalui perjanjian kontrak, harga 160 drone Black Hornet berharga US$
31.4 juta. Namun hal ini mungkin cukup wajar, mengingat teknologi ini membuat
pengguna menguasai informasi medan pertempuran dan mengurangi jatuhnya korban
jiwa akibat jebakan musuh maupun serangan mendadak. [kompasiana]
sumber gambar : Live Science
sumber gambar : Live Science
0 komentar:
Posting Komentar