Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS. Al Anfal: 60)
Kemenangan merupakan anugerah Allah swt. yang sangat
berharga. Ia juga menjadi harapan orang yang sedang berjuang. Bagi mereka yang
berada di medan juang kemenangan amat dinanti-nanti segera tiba. Mereka ingin
kemenangan itu jadi dekat. Akan tetapi perlu diketahui bahwa kemenangan tidak
akan datang secara ujug-ujug. Melainkan ada beberapa persoalan yang patut untuk
dilakukan agar bisa menghadirkannya.
Kemenangan bagian dari ketentuan Allah swt. atas urusan
hamba-Nya (Qudratullah). Dia yang Maha Tahu akan nasib yang
dialami ciptaan-Nya. Dia pula yang berhak untuk memberikan kemenangan ataupun
menundanya. Kemenangan dari Allah swt. pasti datangnya baik di dunia ataupun
akhirat. Sehingga tidak ada kamus kekalahan di hati para pejuang.
Namun kemenangan itu datang dengan jalan-jalan yang akan
memuluskan kehadirannya. Melalui upaya maksimalitas manusia (ikhtiyar
basyariyah). Adapun mereka yang telah melakukan upaya yang maksimal
untuk mencapai prasyarat kemenangan, maka kemenangan menjadi haknya. Oleh
karena itu ikhtiyar basyariyah juga menjadi bagian yang harus diperhitungkan
oleh mereka yang menunggu-nunggu kemenangan. Ikhtiyar basyariyah yang
optimallah yang perlu dibangun dalam perjuangan ini agar kememangan itu menjadi
hak yang mutlak.
Bila para dai yang sedang berada di barisan terdepan dalam
medan perjuangan ini memahami akan hakikat kemenangan dari dua hal di atas,
maka sikap utama dari diri mereka tidak lain adalah sikap siap untuk digerakkan
dalam menunaikan sebuah operasionalisasi dakwah ini (isti’dad lil
amal). Adapun upaya yang mesti dilakukannya sebagai berikut:
1. Kesanggupan untuk dimobilisasi (Al Qudrah li
tanfidz)
Kesanggupan dimobilisasi dengan cepat dalam berbagai keadaan
merupakan watak para pahlawan Islam dalam memenangkan dakwah di medan
peperangan. Sikap ini secara umum memang perilaku prajurit sejati. Kesanggupan
diri membuat mereka berani maju menghadapi tugas dan amanah dakwah sekalipun
berat rasanya. Baginya tidak ada pilihan lain kecuali kemenangan yang hakiki.
Hidup mulia atau mati syahid.
Bagi seorang prajurit yang siap, memikul tugas dan tanggung
jawab adalah kemuliaan. Sehingga mereka akan mengerahkan segenap kemampuan
untuk tetap berada di garis tugasnya. Berbalik ke belakang sama artinya dengan
mewariskan keburukan dan kekalahan. Karena itu mereka berupaya untuk
menunaikannya dengan sebaik-baiknya.
Semangat Abdullah bin Rawahah RA. yang berapi-api di Perang
Muktah memacu keberanian para sahabat sehingga mampu mengobarkan kepahlawanan
mereka. Membuat jiwa para sahabat lebih mencintai harumnya syurga dari pada
pulang kembali ke Madinah. Padahal mereka harus menghadapi musuh dengan jumlah
dan kekuatan yang besar. Kecintaan pada hari akhirat menjadi landasan sikap
mereka menyongsong tugas mulia.
Dan modal itulah kaum muslimin memenangkan pertarungan dan mewariskan perilaku keimanan yang sebenar-benarnya kepada generasi berikutnya.
Dan modal itulah kaum muslimin memenangkan pertarungan dan mewariskan perilaku keimanan yang sebenar-benarnya kepada generasi berikutnya.
Hari yang kita lalui saat ini tampak sangat jelas. Karena
jelasnya tugas dan amanah yang mesti kita tunaikan. Bila kita runut tugas itu
satu persatu maka akan kita dapati begitu banyak tugas yang menanti kita. Tugas
itu sedang antri untuk diselesaikan. Masalahnya adalah siapakah gerangan yang
akan menunaikannya. Apalagi jika ditinjau dari waktu yang tersedia untuk
penyelesaiannya, maka ia memerlukan kader dakwah yang amat banyak.
Dalam situasi dan kondisi yang pelik dimana tugas dan waktu
saling berlomba. Maka perilaku dai sejati untuk selalu siap dimobilisasi harus
dikedepankan dari pada sikap gamang untuk menunaikannya. Karena kegamangan
dalam melaksanakan tugas sering menghambat kemampuan untuk berpartisipasi aktif
dalam menunaikan tugas mulia tersebut. Sikap gamang bagi kader dakwah merupakan
batu sandungan yang harus segera disingkirkan. Dan yang perlu dihidupkan adalah
sikap untuk selalu sanggup dimobilisasi dengan cepat dalam berbagai situasi.
Selanjutnya menempati pos-pos yang lowong dengan sabar dan disiplin.
Pada jihad siyasi banyak pos-pos dakwah yang perlu diisi
dengan segera. Karena waktu dan tugas yang perlu diselesaikan saling
mendahului. Kader dakwah mesti tanggap dengan kemampuannya dan pos yang ada.
Sehingga bisa segera mengistijabahi tugas-tugas mulia tersebut.
2. Bersabar berada di pos-pos dakwah (As Shabru fi
‘aba’i ad da’wah)
Berada pada pos dakwah terkadang banyak kendala dan cobaan.
Baik yang menyenangkan maupun yang menyulitkan. Ini memang ujian dakwah yang
diberikan Allah swt. pada kita untuk menilai sejauh mana tingkat kesabaran dan
kesetiaan prajurit sejati pada tugasnya. Serta keberhasilannya dalam
menjalankan amanah yang diberikan padanya.
Adakalanya berada pada pos-pos tugas membosankan bahkan
menegangkan karena beban yang berat.
Namun adakalanya juga menyenangkan karena
fasilitas dan pendapatan yang menggiurkan. Tidak jarang kita jumpai orang yang
minta dipindahkan ke pos lain karena tidak suka pada tugas yang harus
dikerjakan sehari-hari. Ada pula yang minta terus berada pada posnya karena
penghasilan dan fasilitas yang ia dapatkan. Akhirnya tugas itu dinilai dari
kesenangan material.
Kaum muslimin pernah mengalami pelajaran pahit di medan
Uhud. Ini mesti menjadi catatan mahal umat Islam. Tatkala pos-pos tugas itu
dinilai dengan pandangan kesenangan material maka berakibat fatal bagi mereka.
Sebab pos-pos yang harusnya dijaga dengan sabar dan disiplin, akhirnya
ditinggalkan begitu saja. Kekosongan pos tugas itu menjadi peluang musuh untuk
mengkocar-kacir barisan kaum muslimin hingga porak poranda. Dan kerugianlah
yang diperolehnya.
Padahal Rasululah saw. mengingatkan mereka dengan
komandonya: “Berjagalah di pos kalian ini dan lindungilah pasukan kita
dari belakang. Bila kalian melihat pasukan kita berhasil mendesak dan
menjarah musuh, janganlah sekali-kali kalian turut serta menjarah. Demikian
pula andai kalian melihat pasukan kita banyak yang gugur, janganlah kalian
bergerak membantu.” (HR. Bukhari)
Kasus Uhud menjadi ibroh (pelajaran) berharga bagi
orang-orang beriman. Cukup sekali saja hal itu terjadi. Tidak boleh terulang
lagi apalagi sampai berulang-ulang. Oleh karena itu bekal kesabaran dan
keteguhan hati perlu terus dipasok jangan sampai berkurang sedikitpun. Panglima
Saad bin Abi Waqqas r.a. menyerukan pasukan yang akan menghadapi tentara Persia
dengan instruksinya: “Tempati pos kalian dan bersabarlah, karena kesabaran
menjadi jalan kemenangan.”
Bagi kader dakwah ketika sudah menempati pos tugasnya, ia
akan menjaganya dengan baik. Ia tidak akan tergiur sekejappun untuk
meninggalkannya. Ia juga tidak tergoda oleh kesenangan material yang
mengganggunya. Namun ia akan terus berada pada posnya dengan penuh kesabaran.
Sebagaimana Sang Junjungan telah mengingatkan bahwa, “Prajurit yang
baik adalah bila ditugaskan di bagian belakang, maka ia ada di tempatnya. Bila
ia ditugaskan di barisan terdepan, maka ia pun ada di tempatnya.” (HR.
An-Nasai).
3. Siap siaga menyongsong tugas (Al Istijabah lil amal)
Bila peluit sang komandan telah dibunyikan, berarti
tugas-tugas harus segera diselesaikan. Kesiagaan menyongsong tugas menjadi
indikasinya. Dari sana kadang menang dan kalah dapat diperkirakan. Mereka yang
siap siaga artinya mereka siap menghadapi situasi apapun. Akan tetapi mereka
yang lengah berarti mereka akan menjerumuskan dirinya pada jurang kebinasaan.
Kesiagaan kader dakwah indikasi kesiapannya untuk bertarung.
Tentunya, siap di segala sektor. Kesiapan ruhiyah, fikriyah, jasadiyah dan
nafsiyah. Dengan kesiapan yang demikian, maka dapat dipetakan kekuatan diri dan
musuhnya. Dan seberapa besar kendala yang peluang kemenangan yang akan
didapatinya.
Manakala kesiapan itu sudah begitu gamblang di hati kaum
muslimin dan kader dakwah secara khusus, maka Allah swt. yang akan
memback-upnya. Yang Maha Kuat dan Perkasalah yang akan menggerakkan seluruh
potensi yang dimiliki kader dakwah apabila sudah digerakkan sejak awal.
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mu’min, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Anfal: 17)
Yang menjadi persoalannya adalah apakah kader dakwah saat
ini seluruhnya sudah siap siaga menyongsong tugas atau masih asyik termangu
dengan kebingungannya. Semuanya kembali pada diri masing-masing. Akan tetapi
yang perlu diingat adalah bila kader dakwah belum siap siaga menyongsong tugas
jangan berharap hari esok lebih baik dari kemarin.
Generasi Qur’ani masa lalu menjadi umat terbaik bukan
terletak pada keberadaan Rasul bersama mereka. Melainkan sikap mereka terhadap
Qur’an dan sikap mereka secara keseluruhan yang siap siaga menerima tugas dan
perintah. Bila saat itu disodorkan amanah tugas, maka saat itu pula mereka
kerjakan tanpa reserve. Nah, kalau begitu sikap mereka itulah yang perlu kita
ulang pada diri kita saat ini. Karena tugas dan instruksi komandan untuk jihad
siyasi saat ini begitu sangat jelas.
4. Pantang Mundur (Adamul dubur)
Bila pertarungan sudah di hadapan, hanya satu sikap saja
yang dilakukan, yaitu maju ke depan. Tidak boleh ada kata mundur atau balik ke
belakang. Karena mundur artinya kekalahan. Dan kekalahan adalah kehinaan bagi
kader dakwah di dunia dan akhirat. Allah swt. sudah menegaskan:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. Al Anfal: 15 -16)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. Al Anfal: 15 -16)
Bagi kader dakwah tugas mulia menjadi jalan mulus untuk masa
depan. Ia tidak akan pernah berpikir balik ke belakang. Ia akan maju terus
menyongsong masa depan. Begitulah kemenangan kaum muslimin di berbagai tempat,
termasuk di Eropa. Panglima Thariq bin Ziyad menyampaikan pidatonya di hadapan
para prajurit, “Wahai kaum muslimin di belakangmu lautan lepas, tidak ada lagi
perahu yang akan membawa kalian ke negeri kampung halaman. Dan di depanmu musuh
menghadang. Tidak ada pilihan lain untuk kemenangan kecuali maju ke hadapan
songsong musuh dengan hati lapang. Sambut tugas dengan ringan.”
Menghadapi kenyataan ini, keberanianlah yang perlu kita
perbesar. Berani karena benar dan berani karena membawa misi kesucian. Kader
dakwah pemberani dalam melaksanakan tugas dapat menjadi pintu kegemilangan.
Khususnya kegemilangan dakwah di negeri dambaan ini.
5. Tidak bermaksiat (Adamul Ma’shiyah)
Kemenangan dan kekalahan yang dialami kaum muslimin sangat
dipengaruhi oleh perbuatan para prajuritnya. Kemaksiatankah atau ketaatan.
Kemaksiatan dapat menjadi penyebab kekalahan dan ketaatan dapat membawa
kemenangan.
Para pemimpin Islam selalu mewasiatkan untuk mewaspadai
perilaku kemaksiatan kadernya. Karena kemaksiatan yang dilakukan satu orang
dapat berakibat buruk bagi yang lainnya. Kemaksiatan yang dilakukan seorang
kader dakwah harus lebih ditakuti daripada besarnya jumlah dan kekuatan musuh.
Sebab maksiatan membuat Allah swt. menjauhi mereka. Dan tidak akan memberikan
bala bantuan-Nya.
Catatan hitam dari kasus Uhud pun terjadi lantaran
kemaksiatan sebagian prajurit muslim. Mereka tidak mematuhi perintah Rasulullah
saw. karena tergiur dengan rampasan perang yang berserakan di depan mereka.
Lalu mereka meninggalkan bukit Uhud dan mengumpulkan ghanimah tersebut. Akhirnya
pos yang kosong itu segera diambil alih musuh sebagaimana yang diingatkan Allah
swt.
“Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya Allah telah mema`afkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Iman: 152)
Cukuplah Uhud menjadi pelajaran besar bagi kita. Satu hal
yang perlu dicamkan. Jangan pernah bermaksiat sedikitpun ketika pertarungan
telah di hadapan. Kemaksiatan lobang jurang kebinasaan dan kehinaan dunia dan
akhirat.
Manakala anashir-anashir kemenangan tersebut dapat
terealisir di jiwa para kader dakwah, maka pertolongan dan bala bantuan yang
dijanjikan Allah swt. akan tampak nyata di depan mata. Kemenangan tersebut
menjadi hak bagi para pejuang (nashrullah wal futuhat). Sebagaimana
kemenangan dan penaklukan Kota Mekkah, banyak musuh-musuh dakwah yang tunduk
terhina di hari itu dan segera menjadi pengikut Nabi saw. dan kemuliaan orang
beriman sebagai pakaian para pejuang yang dahulu telah memberikan investasinya
pada dakwah ini. Dan kita telah memahaminya bahwa hal itu melalui proses yang
panjang dan rumit. Wallahu ‘alam bishshawab. [dakwatuna]
Oleh: Drs. DH. Al-Yusni
0 komentar:
Posting Komentar