Persidangan kasus suap impor daging mulai memasuki babak penuntutan. Setelah
sekian lama masyarakat diombang-ambing oleh rumor dan ketidakpastian, akhirnya
keputusan menjelang. Siapa yang salah, bagaimana duduk perkaranya, dan apa
hukumannya akan ditetapkan. Ahmad Fathonah si playboy cap tempurung telah
dijatah 17,5 tahun penjara. Yang lain-lain segera menyusul, termasuk tentu
saja, sang lakon utama yang fenomenal, Mantan Presiden PKS, Luthfi Hassan
Ishaq.
Sebagai warga negara yang baik, adalah penting bagi kita mengapresiasi KPK
sebagai instrument negara menjalankan penegakan hukum. Seiring dengan itu pula,
sebagai warganegara yang baik, kita mengharapkan performa hukum dijalankan
dengan benar, tanpa dusta dan kepalsuan yang mencederai masa depan penegakan
hukum negeri ini.
Terkait dengan penanganan kasus ini oleh KPK, patut disayangkan bahwa Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai salah satu suprastruktur demokrasi ikut
terkena imbas. Institusi yang juga merupakan asset berharga milik bangsa itu
luluh-lantak menjadi bulan-bulanan caci-maki, menjadi bak penampungan segala
kekotoran ketika sifat-sifat manusia yang paling menjijikkan naik ke permukaan…
Pidana pokok dalam kasus ini, sebagaimana disampaikan oleh Dirdik Yanmas KPK
sekaligus Jubir KPK Johan Budhi yang bukan sarjana hukum itu, adalah kurang
lebih sbb: Luthfi Hassan Ishaq dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara
negara yang memiliki kewenangan konstitusional mengatur kuota impor daging,
telah menerima suap dari PT Indoguna uang tunai sejumlah Rp. 40 milyar,
sehingga PT Indoguna mendapatkan penambahan kuota impor melebihi jumlah yang
semestinya. Dua alat bukti yang sah dan meyakinkan sebagaimana diatur dalam UU
Tipikor telah dimiliki oleh KPK.
Validitas dua alat bukti yang meyakinkan itu, sejauh ini belum pernah
ditunjukkan oleh Johan Budhi kepada pihat-pihak yang berkepentingan, termasuk
masyarakat luas. Ini penting karena masyarakat perlu tahu apakah Hukum Negara
dijalankan sebagaimana mestinya. Harus akuntabel dan terukur, demi memupuk
kepercayaan. Selama ini masyarakat pemerhati hukum masih bertanya-tanya: Apakah
benar LHI itu penyelenggara negara yang memiliki kewenangan menetapkan kuota
impor daging? Apakah LHI benar-benar menerima suap Rp. 40 milyar? Apakah benar
PT Indoguna mendapatkan jatah penambahan kuota sebagai akibat suap itu? Apakah
benar perbuatan LHI itu telah menimbulkan kerugian keuangan negara? Bagaimana
kronologinya, kejadiannya, kapan terjadi dan dimana tempatnya?
Meskipun tampak ‘mustahil’, tetapi semoga saja Jaksa Tipikor telah
memilikinya, dan para Hakim Tipikor mengakuinya sebagai bukti yang sah dan
meyakinkan. Keabsahan bukti itu penting, karena bukti adalah elemen fundamental
mengenai terjadinya tindak kejahatan. Tanpa bukti maka para hakim akan
membebaskan terdakwa. Apabila ada hakim memutus perkara tanpa bukti,
lebih-lebih mengingkari citra ilahiyah yang melekat pada kedudukannya, maka
tunggulah azab dari alam semesta. Cepat atau lambat, kebenaran akan muncul
dengan caranya sendiri!
Itulah mengapa UU Tipikor itu mesti dijalankan dengan penuh kehati-hatian.
Terlalu besar resikonya jika UU ini digunakan secara sembrono dan terburu-buru
(Prof. Romli Atmasasmita, konseptor UU Tipikor).
Apabila Hakim Tipikor memutuskan terdakwa bebas dari segala tuntutan, maka
hak-hak terdakwa mesti segera dipulihkan. Dalam hal ini KPK bertindak atas nama
negara, maka negara-lah yang menanggung proses rehabilitasi itu. Di dalam UU
Tipikor dimuat dengan jelas, antara lain mengembalikannya kepada kedudukan
semula dan membayar sejumlah ganti rugi immaterial atas penghancuran karakter
yang dialaminya akibat tuduhan yang salah itu.
Jika LHI diputus bebas, berapa kira-kira jumlah ganti rugi immaterial yang
sepadan untuknya? Rp. 40 milyar, Rp. 100 milyar atau Rp. 1 trilyun? Tidak ada
standar nilai untuk harga diri seseorang, karena tak ada jualannya di pasar
daging. Namun melihat penghinaan yang dialaminya, keluarganya, PKS yang
dipimpinnya, sekaligus memberi pelajaran kepada kesombongan aparatur hukum di
negara ini, maka Rp. 10 trilyun rupiah itu adalah harga yang pantas. Atau
berapa pun yang diminta oleh LHI dkk maka negara wajib memenuhinya.
Negara tak boleh menolak membayar klaim ini dengan alasan apa pun, demi harga
diri bangsa. Tak sepatutnya negara besar yang kaya sumber daya alam ini
menunggak hutang kepada seorang penyanyi dangdut bernama Vitaly Sesha. Apa kata
dunia! Misalkan kas negara sedang kosong, diharapkan Menkeu RI segera berangkat
ke Amerika untuk ‘nyilih utang’ ke IMF, tempat Sri Mulyani bertugas.
Pandai-pandai menceritakan permasalahan kita ini kepada orang ‘sono’.
Atau, jika negara benar-benar keberatan membayar ganti rugi, ada satu cara
yaitu kembali merekayasa hukum. Runding-rundinglah antara hakim, jaksa dan
perwakilan pemerintah agar LHI tetap dinyatakan bersalah dan divonis 20 tahun
penjara segera masuk. Sita pula seluruh harta bendanya, apa pula sulitnya.
Tetapi itu bukan pilihan yang menguntungkan bagi perjalanan Bangsa Indonesia ke
depan. Apa boleh buat, jaman jahiliyah sudah lama berlalu. Seluruh dunia
mengikuti kasus ini dengan seksama. Jika Bangsa Indonesia ternyata masih
menjalankan budaya primitif dalam penegakan hukum, bisa-bisa Negara-negara
Dunia Ke-III menganggap peradaban Bangsa Indonesia pada masa sekarang ini belum
beranjak jauh dari peradaban monyet!
Pening kepala akhirnya!
Tulisan ini tidak bermaksud mempengaruhi sidang yang sedang berlangsung.
Tulisan ‘kecengan’ seperti ini tak mungkin mempengaruhi keputusan Hakim
Tipikor. Atau apakah dikhawatirkan berpotensi mempengaruhinya?
Bhuahaha…haha..ha, itu bukan pengadilan ‘kecengan’ boss! [kompasiana]
0 komentar:
Posting Komentar