Saya hanya bisa mengelus dada saat membaca status
kawan-kawan yang dahulu terdepan menjalankan aktivitas dakwah. Namun karena
berselisih paham atau kebijakan, mereka kini menjadi penyerang paling beringas
terhadap setiap kebijakan dakwah. Apapun ...di matanya adalah: a'ib, salah, dan
bejat.
Ingin rasanya menyampaikan nasihat atau sekedar diskusi. Namun saya teringat pesan baginda di banyak makna hadis. Menghindari berbantah dengan pembenci adalah solusi terbaik. Sebab penjelasan paling bijak darimu adalah diam, tersenyum, dan membiarkan dia merasa benar sendiri. Nasihat yang kini dikonotasikan sebagai nasihat super Pak Mario Teguh.
Tentu siapapun tahu, tak ada kesempurnaan dari siapapun kita. Modal kita hanyalah kebersamaan dalam kebermanfaatan. Saling mengisi. Tak kenal henti memberi. Jika memang ada ketidaksukaan atas satu kebijakan, mengapa kita tidak mengedepankan kebersamaan dengan prinsip yang selama ini kita usung dan kaji bersama: Nata'aawan fiimaattafaqnaa wanatasaamah fiimakhtalafnaa. (Bekerjasama tentang masalah yang kita sepakati dan saling memberi toleransi tentang hal yang kita kritisi). Jika memang nasihat yang kita sampaikan tidak terakomodasi, mengapa kita tidak mengedepankan kaidah: Pendapat Saya benar, tapi bisa jadi (seiring perkembangan waktu) salah. Pendapat anda salah, tapi bisa jadi (di kemudian hari) benar. Tak ada kerakusan mempertahankan ego. Indah bukan?
Jika memang format yang sekarang ini ada merupakan langkah terpeleset, lalu mengapa nasihat yang digunakan lebih mirip caci maki dan aktualisasi dari dendam yang telah lama terkesumat? Toch jika memang ada salah langkah, mengapa tidak menjadikan kesalahan sebagai sinyal positif bahwa aktivitas dakwah kita bergeliat dan tidak lagi bergerak di persemaian namun sudah ke hutan belantara yang rawan diterjang binatang pura dan setan angkara murka? Saya teringat, kesalahan akibat langkah gerakan dan kebijakan jauh lebih baik daripadabersikap pastif dan mendiamkan kejahatan itu sendiri.
Jadi sahabat dakwah yang kini membenci, mari sama-sama sadari membangun kejayaan Islam di Indonesia dan dunia mungkin dilakukan sendiri. Jika memang tidak bisa lagi bersama dalam lingkaran makna. Maka mengapa kita tidak bersatu dalam arwah-arwah kita, minimal menjaga diri tidak saling caci maki dan merasa benar sendiri. Wallahu A'lam
By: Nandang Burhanudin.
Ingin rasanya menyampaikan nasihat atau sekedar diskusi. Namun saya teringat pesan baginda di banyak makna hadis. Menghindari berbantah dengan pembenci adalah solusi terbaik. Sebab penjelasan paling bijak darimu adalah diam, tersenyum, dan membiarkan dia merasa benar sendiri. Nasihat yang kini dikonotasikan sebagai nasihat super Pak Mario Teguh.
Tentu siapapun tahu, tak ada kesempurnaan dari siapapun kita. Modal kita hanyalah kebersamaan dalam kebermanfaatan. Saling mengisi. Tak kenal henti memberi. Jika memang ada ketidaksukaan atas satu kebijakan, mengapa kita tidak mengedepankan kebersamaan dengan prinsip yang selama ini kita usung dan kaji bersama: Nata'aawan fiimaattafaqnaa wanatasaamah fiimakhtalafnaa. (Bekerjasama tentang masalah yang kita sepakati dan saling memberi toleransi tentang hal yang kita kritisi). Jika memang nasihat yang kita sampaikan tidak terakomodasi, mengapa kita tidak mengedepankan kaidah: Pendapat Saya benar, tapi bisa jadi (seiring perkembangan waktu) salah. Pendapat anda salah, tapi bisa jadi (di kemudian hari) benar. Tak ada kerakusan mempertahankan ego. Indah bukan?
Jika memang format yang sekarang ini ada merupakan langkah terpeleset, lalu mengapa nasihat yang digunakan lebih mirip caci maki dan aktualisasi dari dendam yang telah lama terkesumat? Toch jika memang ada salah langkah, mengapa tidak menjadikan kesalahan sebagai sinyal positif bahwa aktivitas dakwah kita bergeliat dan tidak lagi bergerak di persemaian namun sudah ke hutan belantara yang rawan diterjang binatang pura dan setan angkara murka? Saya teringat, kesalahan akibat langkah gerakan dan kebijakan jauh lebih baik daripadabersikap pastif dan mendiamkan kejahatan itu sendiri.
Jadi sahabat dakwah yang kini membenci, mari sama-sama sadari membangun kejayaan Islam di Indonesia dan dunia mungkin dilakukan sendiri. Jika memang tidak bisa lagi bersama dalam lingkaran makna. Maka mengapa kita tidak bersatu dalam arwah-arwah kita, minimal menjaga diri tidak saling caci maki dan merasa benar sendiri. Wallahu A'lam
By: Nandang Burhanudin.
0 komentar:
Posting Komentar